Pemerintah memang mewajibkan imunisasi yang tentunya membuat orang tua yang pro-vaksin tidak memiliki masalah. Namun, ternyata banyak juga orangtua di Indonesia ini yang termasuk ke dalam golongan anti-vaksin. Beberapa orang dari kedua kelompok ini pun gencar melakukan kampanye dengan segala argumennya, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Hal ini membuat para orang tua yang berada diantara keduanya merasa bingung untuk memilih pendapat yang mana.
Vaksinasi dan imunisasi adalah dua istilah yang berbeda
Sebelum menetapkan pilihan, sebaiknya kita mengetahui bahwa vaksinasi dan imunisasi adalah dua istilah yang berbeda. Secara sederhana, vaksinasi adalah proses pemberian vaksin kepada manusia. Sedangkan imunisasi adalah proses penguatan tubuh setelah dilakukan vaksinasi. Vaksin menstimulasi sistem kekebalan tubuh untuk mengenali dan melindungi dari infeksi.
Gerakan Anti-Vaksin
Gerakan ini telah lama terjadi di dunia. Sementara di Indonesia, gerakan anti-vaksin mengemuka terutama setelah maraknya penggunaan media sosial. Para penggiat kampanye anti-vaksin memiliki beberapa alasan yang membuat mereka bersikeras untuk tidak menyuntikan vaksin kepada anak-anak. Beberapa alasan tersebut adalah:
1. Alasan agama.
Indonesia merupakan negara dengan populasi muslim terbesar. Vaksin itu sendiri dianggap haram karena terdapat penggunaan media seperti ginjal kera, babi, aborsi bayi, dan darah manusia yang dapat memiliki kemungkinan terinfeksi penyakit.
2. Alasan efek samping.
Para penggiat gerakan ini beranggapan bahwa dalam
vaksin, terdapat bahan-bahan yang membahayakan tubuh seperti mercuri, aluminium, thimerosal benzetonium klorida, dan zat-zat pemicu autisme atau bahkan cacat otak.
3. Karena manusia tidak memerlukannya.
Penggiat konspirasi beranggapan bahwa vaksinasi tidak dibutuhkan karena manusia dibekali dengan kekebalan tubuh. Selama manusia dapat menjaga diri dan bergaya hidup sehat, vaksin tidak diperlukan untuk memberikan imunisasi.
4. Lebih memilih alternatif pengobatan alami.
Penggiat anti-vaksin tidak menginginkan vaksinasi karena terdapat alternatif pengobatan yang lebih alami seperti tanaman obat, jamu, madu, minyak zaitun, dan habatussauda.
Gerakan Pro-Vaksin
Gerakan pro-vaksin memiliki visi yang sama dengan pemerintah yaitu mewajibkan vaksinasi untuk mencapai imunisasi. Berikut alasan-alasan yang dikampanyekan penggiat kelompok ini:
1. Pentingnya mencegah infeksi sebelum mengobati penyakit.
Contoh yang banyak terjadi sebelumnya banyaknya ibu hamil yang terjangkit Toksoplasma, Rubella, dan Hepatitis B yang sebenarnya dapat dicegah. Virus ini tentunya berbahaya karena dapat membahayakan ibu dan janin yang dikandungnya.
2. Vaksinasi mencegah wabah penyakit.
Keresahan terjadi ketika infeksi berkembang menjadi wabah seperti difteri, kolera, dan polio.
3. Kita hidup di negara berkembang, karena itu perlu vaksinasi.
Sebagaimana diketahui bahwa standar kesehatan lingkungan masih rendah. Selain itu, belum tentu setiap orang dapat menjalani gaya hidup sehat. Jika memang diketahui beberapa vaksinasi tidak lagi digunakan di negara barat, itu karena standar kesehatan mereka sudah lebih tingggi. Selain itu, perlu diketahui juga bahwa sebelum kita memasuki beberapa negara maju, kita juga harus divaksin terlebih dahulu.
4. Efek samping imunisasi dapat diminimalisir dengan cara yang benar.
Efek samping yang berbahaya dapat dikurangi dengan cara mencari tahu jenis vaksin dan jadwal yang benar. Selain itu, dengan mengetahui kondisi anak yang diberi vaksin, maka kita dapat menjadi lebih tanggap jika terjadi kondisi yang berbahaya.
5. Pilihlah hasil penelitian yang tersistem daripada isu.
Hal ini sempat terjadi sewaktu terdapat isu mengenai vaksinasi MMR dapat menyebabkan autis. Namun, ternyata ditemukan bahwa penelitian tersebut tidak melalui metodologi yang benar. Selain itu, autisme disebabkan beragam faktor, tidak hanya imunisasi.
Lalu Bagaimana untuk orang tua yang merasa bingung untuk memilih vaksin atau tidak?
Semua pilihan akan kembali ke tangan orang tua sebagi pengambil keputusan. Untuk alasan agama, tentunya akan kembali pada apa yang diyakini. Namun, tetaplah mengkaji lebih dalam lagi sebelum mengambil keputusan berdasarkan alasan ini. Mengapa? Karena anaklah yang menjadi subjeknya.
Memang vaksinasi berlaku seperti obat yang lain. Mereka tidak bisa menjamin 100% pencegahan. Semua tergantung banyak faktor, salah satunya daya tahan tubuh. Begitu pula dengan pengobatan alternatif. Hanya saja, kita bisa meminimalisir hal tersebut dengan mengonsumsinya sesuai aturan.
Jika pernah terdapat penelitian yang menunjukan bahwa vaksinasi itu berbahaya, kebanyakan penelitian tersebut kurang bisa dipercaya. Umumnya, penelitian yang dilakukan dapat dibantah dengan teori imunologi yang sudah berkembang. Kemudian jika yang diambil adalah penelitian Wakefield dan Montgomerry pada tahun 2000 yang menyatakan bahwa vaksin MMR penyebab autisme pada anak. Ternyata, pengadilan London menyatakan redaksi majalah yang memuat tulisan ini memiliki bukti yang lemah.
Terakhir, jangan lupa bahwa vaksin mencegah wabah. Mungkin, kita harus belajar dari kasus “Bible Belt” di Belanda yang menolak vaksinasi Measles (yang sekarang disebut MMR – Measles, Mumps, Rubella) karena alasan religius. Penolakan itu menyebabkan penyebaran wabah virus Measles antara tahun 1999-2000 yang terjadi di daerah-daerah yang didominasi oleh orang-orang Bible Belt. Kini, berbahagialah karena vaksin Measles yang berhasil ditemukan pada tahun 1965 membuat kasus Measles sudah hampir tidak ada lagi.
