Parenting

Pola Asuh yang Benar Dapat Membuat Anak Bahagia dan Sukses, Jangan Jadi 15 Tipe Orang Tua yang Bisa Merusak Masa Depan Anak

Pola asuh yang benar dapat berdampak baik pada kebahagiaan dan kesuksesan anak nantinya. Namun, jika sampai salah, orang tua malah bisa menyakiti –bahkan merusak masa depannya. Apa saja tipe orang tua yang bisa merusak masa depan anak? Simak penjelesannya berikut!

1. Suka Membanding-bandingkan Anak dengan Anak Lain

Sederhananya, tak ada yang suka dibanding-bandingkan dengan orang lain, tak terkecuali anak. Sayangnya, tak jarang orang tua membandingkan hal-hal positif dari orang lain kepada anaknya, dengan harapan anak juga memiliki nilai positif tersebut. Padahal ini bisa membuatnya berkecil hati. Berpikir bahwa dirinya memang seperti apa yang orangtuanya katanya, yakni tidak lebih baik dari anak lain. 

2. Bertengkar dengan Pasangan di Depan Anak

Konflik dengan pasangan sering kali tak terhindarkan dan sulit menyembunyikannya dari anak. Mungkin karena emosi yang meluap, pertengkaran bisa terjadi di depan anak.

Namun, Bunda harus tahu jika studi ilmiah menunjukkan bahwa anak yang tumbuh di lingkungan yang sering terjadi konflik, jadi cenderung lebih sulit untuk beradaptasi, sulit bekerja sama dengan orang lain, dan rentan mengalami depresi.

Bukan hanya masalah emosi, kesehatan fisik anak pun dapat terganggu dan menyebabkan keluhan berupa badan lemas yang frekuensinya sering dan gampang sakit.

3. Menjadi orang tua yang Tidak Jujur dengan Suka Berbohong

Sering berbohong kepada anak akan membuat anak kehilangan rasa percaya terhadap orang tuanya sendiri. Bahkan berdasarkan penelitian dari Universitas Princeton, Amerika Serikat, setidaknya 40 persen anak-anak takut dan kehilangan rasa percaya akan orang tuanya.

Penyebabnya, misalnya orang tua sering mengucapkan, ”jangan menangis, ya, nanti digigit harimau”, ”Ibu pergi 5 menit ya, kamu main dulu sama Mbak” (padahal perginya berjam-jam), ”jangan bandel, nanti ditangkap polisi, lo!”, dan sebagainya.

Kesannya sepele saat kebohongan itu keluar dari mulut. Namun, bila tak jujur kepada si Kecil, lama-lama itu memberikan efek buruk di kemudian hari.

4. Menjadi Orangtua yang Kompetitif Demi Kepuasan Pribadi

Orangtua kerap memacu anak untuk selalu juara satu, selalu aktif dalam sebuah kompetisi atau aktivitas di mana kemenangan adalah tujuan akhir. Ini berbahaya lantaran anak bisa tumbuh menjadi sosok yang tidak mau mengalah, sering kecewa kalau tidak mendapatkan yang ia mau dan cenderung akan banyak musuh dan susah punya teman.Sebagai orangtua, kita seharusnya sadar jika setiap anak memiliki kemampuan dan keahliannya masing-masing.

5. Memberikan Ekspektasi yang Berlebihan pada Anak

Tipe lain orangtua yang bisa merusak masa depan anak adalah yang memiliki ekspektasi terlalu tinggi pada anak. Misalnya orangtua ingin anak selalu menjadi juara kelas, masuk perguruan tinggi ternama, meraih beasiswa, dan sebagainya.

Namun, kebanyakan yang terjadi adalah, ketika pencapaian anak sesuai dengan ekspektasi orang tua, orang tua justru tidak memberikan apresiasi karena menganggap bahwa itu memang sudah seharusnya tugas anak.

Ekspektasi tinggi orang tua yang tidak dibarengi timbal balik berupa motivasi maupun apresiasi bisa membuat anak kehilangan semangat berjuang (demotivasi), karena menganggap jerih payahnya tidak dihargai.

6. Sering Membicarakan Hal Buruk tentang Orang Lain di Hadapan Anak

Sebisa mungkin, hindari bergunjing atau membicarakan kejelekan orang lain di hadapan anak. Anak mungkin tampak tak mengerti, tapi mereka tetap memperhatikan orangtuanya.

Saat orangtuanya berbicara negatif tentang orang lain, misalnya: “tetangga depan rumah itu orangnya galak!”, “temanmu itu badannya bau banget”, dan sebagainya. Omongan seperti itu bisa menciptakan persepsi negatif dalam pikiran anak

7. Terlalu Sering Memuji Anak Secara Berlebihan

Memberi pujian atas keberhasilan atau prestasi merupakan tindakan baik sebagai bentuk penghargaan. Namun, memberikan pujian yang berlebihan bisa menjadi kesalahan dalam mendidik anak.

Dikhawatirkan, anak hanya akan fokus pada tujuan untuk mendapatkan pujian, sehingga ia akan melakukan berbagai cara untuk memastikan dirinya berhasil.

Selain itu, orang tua yang memuji anak secara berlebihan juga membuatnya percaya diri dan yakin bahwa dirinya sesuai dengan pujian yang diterimanya. Misalnya, “kamu anak yang paling cantik”, ”tidak ada yang lebih pintar dari kamu”, dan lain-lain.

Percaya diri memang baik. Namun, jika anak terbiasa dengan sanjungan dan suatu hari ia mendapatkan kritikan, yang didapat malah perasaan kecewa.

8. Menilai Kemampuan Anak Berdasarkan Nilai yang Diperolehnya

Nilai pelajaran sering menjadi patokan tingkat kecerdasan anak. Padahal, kecerdasan tak hanya dinilai dari angka saja. Kecerdasan anak bisa dilihat dari berbagai macam aspek, seperti linguistik, logika, visual-spasial, kinestetik, musik, interpersonal, dan intrapersonal.

Menjadikan nilai sebagai patokan kecerdasan anak bukanlah pola asuh anak yang bijak. Lebih baik bantu anak dalam proses belajar tanpa membuatnya merasa tertekan.

9. Melindungi Anak dari Segala Kesalahan yang Diperbuatnya 

Siapa, sih, orang tua yang tak mau anaknya hidup bahagia dan aman? Namun, bukan berarti ini jadi alasan orang tua untuk terus melindungi anaknya dari kegagalan maupun kesalahan. Kegagalan dan kesalahan yang dialami atau dilakukan bisa jadi pelajaran bagi anak untuk bangkit, kembali berjuang, dan memperbaiki diri.

Jika orang tua terus-menerus ikut campur atau menangani masalah yang dihadapi anak, kebiasaan tersebut akan terbawa hingga ia dewasa nanti. Akibatnya, anak tak mampu mandiri, menghadapi tekanan, dan menyelesaikan masalah.

10. Terlalu Membebaskan Anak dan Tak Memberi Batasan Sesuai Usia

Penggunaan ponsel pintar, media sosial, kini tak mengenal usia, Bun. Tapi ingat, otak anak-anak masih berkembang dan mereka belum bisa membuat keputusan yang matang ketika dihadapkan sesuatu hal. Terlampau cepat mengetahui hal-hal yang tak seharusnya ia tahu, bisa merusak pikiran yang ia miliki. Jadi perlu untuk Bunda mengawasi aktivitas anak dengan memberinya batasan. 

11. Orangtua Terlalu Over Protektif dengan Apa Saja yang Dilakukan Anak

Orangtua memberikan banyak mendapatkan perhatian. Orangtua juga terlalu sering memantau gerak gerik anak. Anak biasanya juga tidak diperbolehkan melakukan sesuatu atau mencoba sesuatu yang dianggap berbahaya. Ke depannya, sang anak berpotensi tumbuh menjadi sosok yang penakut, mudah alergi, perfeksionis dan selalu merasa tidak aman

12. Terlalu Egois dan Kerap Membuat Anak Merasa Bersalah

Misalnya saja, ketika anak ingin pergi main, tapi orangtua kesepian. Orangtua mengatakan ke anak boleh saja si kecil pergi. Tapi juga bilang kalau anak-anak butuh,orangtua akan selalu di rumah untuk mereka. Perkataan ini bisa bikin anak merasa bersalah lho.

Lantas apa yang bisa Bunda lakukan? Pertama, minta maaf ke anak. Jika anak-anak sudah cukup dewasa untuk memahami kalau bunda terbiasa melakukan hal-hal seperti ini dengan mereka, cobalah mengatakan penyesalan. 

13. Marah-marah Kepada Anak di Depan Khalayak Ramai yang Membuatnya Berkecil Hati

Anak juga memiliki perasaan. Mengomeli mereka di depan banyak orang akan meninggalkan bekas luka seumur hidupnya. Anak-anak pada usia berapapun juga paham, marah-marah bukan perbuatan yang pantas. Kita sebagai orang tua juga sering mengingatkan anak-anak untuk tidak melakukan hal yang sama ke temannya.

14.  Orangtua yang Mencoba Meminta Anak untuk Menyimpan Rahasia

Anak tidak bisa untuk menyimpan rahasia orangtua, apalagi ketika anak masih kecil. Anak-anak kita bukan teman kita. Orangtua tidak dapat bersahabat dengan anak-anak. Ini akan merusak mental salah satunya atau kedua pihak.

Sebagai orangtua, kita bisa menjadi orang kepercayaan anak-anak. Tapi anak-anak belum bisa mencerna informasi kita. tak peduli berapapun usia anak, mereka tidak perlu mendengar rahasia orang tuanya. 

15.  Selalu Mengeluh Tentang Segala Hal di Hadapan Anak

Mengeluh memang wajar. Namun, kalau terus-menerus mengeluh apalagi terhadap perkara kecil, itu bisa berdampak buruk pada anak. Kebiasaan menggerutu dan mengucapkan kalimat negatif dapat menyebabkan anak mengalami stres dan kecemasan.

Anak pun akan cenderung takut untuk mengeksplorasi diri karena khawatir orang tua akan marah atau mengeluhkan tingkah lakunya. Akibatnya, anak akan merasa takut untuk mencoba hal-hal baru.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


Parenting

Tugas dan Tanggung Jawab yang Wajib Dilakukan Sebagai Orangtua

Setiap orang tua mempunyai tugas dan tanggung jawab tersendiri terhadap anak. Mengingat masa depan anak berawal dari tanggung jawab dan tugas yang dilakukan oleh orang tuanya. Dengan kata lain, mempunyai anak yang baik, tentu orang tua wajib memenuhi hak-hak anak. 

Pada umumnya ada lima tugas dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya yang harus dipenuhi. Kewajiban tersebut meliputi mengajarkan nilai-nilai agama, kepribadian dan lainnya. Selengkapnya mengenai apa saja kewajiban dan tugasnya, berikut penjelasan lengkapnya.

Mengajarkan Nilai-nilai Agama Kepada Anak Sedari Dini

Tugas dan kewajiban orang tua yang paling utama dan pertama yaitu mengajarkan nilai-nilai agama. Bahkan, ajaran ini harus diberikan kepada anak sejak dini agar saat menginjak remaja lebih mudah untuk mengarahkannya. 

Sedangkan untuk mengajarkan nilai-nilai agama bisa dilakukan dengan berbagai cara seperti mengajar nya ke tempat ibadah, mengenalkan kitab suci dan mengajarkan doa harian. Saat anak masih kecil dan belum bisa menirukan, tapi dia akan merekamnya.

Membentuk Kepribadian Anak yang Baik

Kewajiban orang tua yang selanjutnya yaitu membentuk kepribadian anak. Mengingat orang tua merupakan pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak, Orang tua harus menanamkan kepribadian yang baik kepada anak sejak dini.

Kepribadian baik yang dimaksudkan yaitu nilai-nilai moral. Sedangkan untuk membentuk kepribadian yang seperti ini caranya cukup mudah, orang tuanya perlu memberikan kasih sayang yang penuh dan menciptakan lingkungan keluarga nyaman serta memberikan contoh. 

Menanamkan Nilai-nilai Sosial yang Patut Ditiru Kepada Anak

Menanamkan nilai-nilai sosial sejak dini juga menjadi salah satu tanggung jawab orang tua terhadap anaknya. Nilai-nilai sosial yang harus ditanamkan seperti menjaga kebersihan lingkungan, gotong royong, menjaga kedamaian, saling menghormati dan tolong menolong.

Jika sejak dini sudah diajarkan beberapa nilai sosial tersebut, anak akan tumbuh menjadi seseorang yang lebih peduli terhadap sesama terutama keluarganya. Tentu saja nilai-nilai sosial ini akan tetap dibawa hingga dewasa. 

Mengajarkan Anak Tentang Apa itu Tanggung Jawab

Tugas dan tanggung jawab orang tua terhadap anak yang selanjutnya yaitu mengajarkan tanggung jawab. Setidaknya jika harus seperti ini sudah diajarkan sejak dini, kedepannya saat sudah dewasa anak akan lebih bertanggung jawab terhadap apa yang sudah dilakukannya.

Cara yang seperti ini bisa dilakukan dengan membuat batasan-batasan. Jadi, nantinya jika Anang melanggar batasan-batasan tersebut bisa diberikan hukuman atau penjelasan mengenai konsekuensi. Bahkan, Tidak ada salahnya juga untuk melibatkan anak dalam membuat Hukuman dan peraturan.

Mengajarkan Kemandirian

Tidak selamanya anak dapat bergantung dengan orang tuanya. Kenapa sejak dini penting untuk mengajarkan kemandirian terhadap anak. Lebih tepatnya kemandirian ini sudah bisa diajarkan saat anak mulai berusia 2 atau 5 tahun. 

Salah satu cara yang bisa diterapkan untuk mengajarkan kemandirian kepada anak yaitu mengajarkan keterampilan yang memang sesuai dengan usianya. Selain itu, ada juga untuk mengajarkan kepada anak jika mengendalikan emosi sangatlah penting. 

Membantu Anak Mengembangkan Bakatnya

Orang tua juga mempunyai tanggung jawab dan tugas untuk membantu anak dalam mengembangkan bakatnya. Dengan kata lain jika anak bisa mengembangkan bakatnya tentu dapat lebih mandiri ke depannya dan lebih bertanggung jawab.

Apalagi di usia tersebut anak belum memahami apa yang disukainya, sebagai orang tua bisa melihat dari apa yang paling sering dilakukannya. Jika melihat hal yang seperti itu, segera lakukan berbagai upaya untuk mengembangkan bakat tersebut dengan menyediakan berbagai media pendukung.

Dampak Negatif Orang Tua Tidak Melakukan Tugas dan Tanggung Jawabnya

Mengetahui apa saja tanggung jawab dan tugas orang tua terhadap anaknya, tentu kurang lengkap jika tidak mengetahui dampak negatif jika tidak melakukan tanggung jawab tersebut. Berikut ini beberapa dampak negatifnya yang bisa didapatkan.

Anak Akan Jadi Tidak Percaya Diri

Salah satu dampak negatif jika orang tua tidak melakukan tugas dan tanggung jawabnya terhadap anak yaitu kurang percaya diri, sehingga bisa menghambat keberhasilan. Anak yang seperti ini cenderung minder jika bergaul dengan orang yang ada di luar rumah. 

Lebih tepatnya orang yang seperti ini akan mengurangi interaksi dengan orang lain. Padahal yang namanya kehidupan bersosial menjalin interaksi dengan masyarakat sangat diperlukan, lagi menjelang dewasa hal tersebut sangat butuh..

Hubungan Anak dengan Orang Tua Tidak Terjalin

Dampak negatif lain yang didapatkan jika orang tua tidak melakukan tanggung jawabnya yaitu hubungan antara keduanya tidak terjalin dengan baik. Padahal sebenarnya orang tua menjadi tempat yang paling dibutuhkan anak untuk menceritakan pulang.

Jika hubungan antara keduanya tidak baik, maka tidak akan terjadi keterbukaan dan bisa menyebabkan emosional tidak dapat terkontrol. Ditambah lagi dengan perhatian orang tua yang tidak pernah diluangkan untuk anaknya, seperti ini akan lebih parah. 

Anak Bisa Mengalami Gangguan Perilaku

Tugas dan tanggung jawab orang tua terhadap anak memang cukup banyak, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Jika saja orang tua menyepelekan tugas dan tanggung jawabnya, Salah satu dampak negatifnya yaitu anak mempunyai kekuatan berlaku.

Saya saja suka membuat onar untuk menarik perhatian banyak orang, bullying terhadap temannya dan suka mencuri. Tanpa disadari sebenarnya anak melakukan hal-hal yang seperti itu agar orang tuanya lebih perhatian.

Itulah penjelasan mengenai beberapa tanggung jawab dan tugas orang tua terhadap anaknya yang wajib untuk dilakukan. Tentu jika tanggung jawab tersebut terpenuhi, berpengaruh penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak di masa depan dan bisa dikatakan sebagai modalnya.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


Parenting

9 Peran Orang Tua Menangani Anak Usia Dini yang Wajib Diketahui

Anak usia dini yang membutuhkan perhatian khusus dari orang tuanya. Karena di usia tersebut anak sudah mulai berinteraksi dengan lingkungan sekitar, sehingga mudah terpengaruh. Di sinilah peran orang tua diperlukan untuk menangani anak usia dini. Karena apa yang dilakukan oleh orangtua pada proses tumbuh kembang anak selama usia dini, akan berpengaruh pada kemampuannya kelak.

Untuk itu, pada usia ini orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendampingan maksimal kepada anak. Selengkapnya berikut ini peran-peran yang harus diterapkan. 

1. Menjadi Pengamat Anak

Salah satu peran orang tua dalam menangani anak usia dini yaitu menjadi pengamat. Peranan ini sangatlah diperlukan karena di usia tersebut, anak cenderung untuk melakukan apapun sesuai dengan keinginannya.

Tentu jika tidak dilakukan pengamatan, anak bisa keluar dari batas wajarnya. Apalagi di usia tersebut anak mudah terpengaruh dengan orang lain, tentu akan sangat beresiko. Di sisi lain, orang tua juga harus bisa memahami bagaimana permasalahan dan tanda-tanda yang terjadi pada anaknya. 

2. Jadi Pembimbing untuk Anak

Peran orang tua sebagai pembimbing memang sudah menjadi hal yang tidak asing lagi. Apalagi saat anak di usia tersebut mulai menghadapi berbagai masalah saat berinteraksi dengan teman di sekolahan atau lingkungan sekitarnya. 

Tentunya dalam menyikapi hal yang seperti ini, Orang tua harus mempunyai cara tersendiri. Misalnya saja dengan berusaha untuk menggali perasaan anak terkait masalahnya dan memahami masalah. Selebihnya orang tua hanya perlu memberikan arahan dan pengertian mengenai masalah tersebut.

3. Penghubung Anak

Menjadi penghubung anak dari berbagai permasalahan yang dialaminya juga menjadi peran orang tua. Tentunya dalam hal ini orang tua harus berusaha memahami bagaimana permasalahan yang berasal dari sumber lain. Hal ini dilakukan agar bisa mendapatkan informasi lebih jelas.

Informasi yang didapatkan bisa berasal dari berbagai sumber seperti teman, guru dan lainnya. Hal ini dilakukan agar orang tua tidak terfokus membela anak sebelum mengetahui kebenarannya. Sekalipun anak yang melakukan salah, Orang tua harus mengingatkan dan memberikan pengertian.

4. Membantu Anak Memecahkan Masalah dan Mengajarinya

Anak usia dini masih termasuk labil, sehingga belum terlalu bisa mengontrol emosionalnya. Begitu juga saat terjadi semua masalah sederhana dengan temannya, biasanya saya anak usia dini akan langsung melampiaskan emosionalnya tanpa berpikir terlebih dahulu.

Tentu sebagai orang tua dalam hal ini penting untuk memecahkan masalah tersebut dengan menerapkan beberapa hal. Seperti halnya mendampingi anak, mengarahkannya agar tidak melakukan hal yang buruk dan menjelaskan konsekuensi negatif dan positif terhadap apa yang dilakukan. 

5. Memberikan Dasar Pendidikan Bagi Anak

Peran orang tua menangani anak usia dini yang selanjutnya yaitu memberikan dasar pendidikan. Tentunya jika dasar pendidikan sudah diberikan sejak dini, maka akan semakin mudah anak mandarin ayah begitu juga dalam menerapkannya di kehidupan sehari-hari.

Dasar pendidikan yang wajib diberikan sejak kapan hari ini seperti budi pekerti, pendidikan agama, sopan santun, kasih sayang, mematuhi, estetika, rasa aman dan lain sebagainya. Selain itu, orang tua juga wajib untuk memberikan pola asuh yang tepat agar pertumbuhan anak lebih maksimal. 

6. Tidak Melakukan Hal Buruk di Depan Anak

Tidak melakukan hal buruk di depan anak juga menjadi salah satu peran orang tua yang wajib untuk dilakukan dalam menangani anak usia dini. Mengingat anak diusia tersebut merupakan sebaik-baiknya peniru, sehingga apapun yang dilakukan oleh orang tuanya akan langsung ditiru.

Maka dari dari itu, penting sekali untuk berhati-hati dalam berbuat apapun. Justru akan lebih baik lagi jika orang tua memberikan contoh yang baik di depan orang agar ditiru. Misalnya saja cara berinteraksi dengan orang yang lebih tua, melakukan tanggung jawab dan lainnya.

7. Menjadi Pendengar yang Baik

Salah satu cara yang bisa kita lakukan untuk menangani anak usia dini sebagai salah satu peran orang tua yaitu menjadi pendengar. Mengingat orang tua merupakan tempat pulang, sehingga harus bisa memberikan kenyamanan kepada anak dalam berbagai hal terutama bercerita.

Jangan terburu-buru memberikan respon, tapi biarkan anak bercerita hingga selesai. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar anak merasa dihargai dan perasaan didengarkan. Tidak ada salahnya juga dalam hal ini memberikan pujian, pelukan dan kasih sayang kepada anak. 

8. Bertanggung Jawab Memberi Kenyamanan untuk Anak

Upaya lain yang harus dilakukan orang tua dalam mewujudkan perannya yaitu memberikan kenyamanan. Kenyamanan yang diciptakan ini sangat diperlukan agar nantinya anak menjadikan orang tua sebagai sahabat terbaiknya dalam berbagai hal.

Bahkan, kenyamanan ini juga memberikan kesempatan kepada anak untuk tidak canggung bercerita kepada orang tuanya. Tentu dengan kondisi yang seperti itu, orang tua akan lebih mudah untuk memahami bagaimana karakter anak dan cara mengarahkannya. 

9. Meluangkan Waktu yang Cukup untuk Anak

Cara menangani anak usia dini yang selanjutnya yaitu meluangkan waktu. Entah itu belum kan waktu untuk menemani anak belajar atau sekedar bermain. Tentu jika orang tua bisa dijadikan sebagai teman, anak tidak akan merasa canggung dan tentunya nyaman.

Begitu juga sebaliknya, jika orang tua memberikan perhatian penuh terhadap anak, maka respon anak pada setiap arahan dan bimbingan orang tua menjadi lebih baik. Contohnya ajari anak bagaimana cara bersosialisasi yang baik, beretika dan lain sebagainya. 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.


Parenting

Maksimalkan Perkembangan Kognitif Anak Sebelum Ia Berusia 5 Tahun

Mempunyai anak yang dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal merupakan impian setiap orang tua. Inilah kenapa diperlukan upaya memaksimalkan tahapan perkembangan kognitif anak usia 0-5 tahun. Jadi, disini peran orang tua sangatlah penting dalam perkembangan kognitif anak.

Pahami Dulu Apa Itu Pengertian Kemampuan Kognitif Anak

Sebelum membahas mengenai cara yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan perkembangan kognitif anak, penting untuk mengetahui pengertiannya. Secara umum, kemampuan kognitif merupakan proses di mana anak dapat menerima pengetahuan dan informasi. 

Selain itu, kemampuan kognitif juga bisa diartikan sebagai keterampilan otak anak yang sangat diperlukan kan dalam menyelesaikan tugas sederhana sampai yang kompleks. Meskipun begitu, bukan berarti kemampuan tersebut dapat berkembang tanpa adanya upaya manusia. 

Inilah Kenapa sebagai orang tua penting untuk mengetahui kemampuan tersebut. Apalagi jika dibandingkan kemampuan yang dimiliki anak-anak dan orang dewasa sangatlah berbeda. Dengan kata lain, di sini orang tua harus memberikan dukungan atau stimulasi perkembangan kognitif. 

Cara Memaksimalkan Perkembangan Kognitif Anak 0-5 Tahun

Anak di usia 0-5 tahun mempunyai perkembangan kognitif yang berbeda. Contoh cara untuk memaksimalkan perkembangan tersebut di setiap tahunnya juga berbeda. Selengkapnya berikut ini penjelasan mengenai cara-caranya di setiap usia anak. 

1. Memaksimalkan Perkembangan Kognitif Usia 0-6 Bulan

Anak di usia 0-6 bulan sudah mulai menunjukkan kemampuannya dalam menunjukkan reaksi terhadap suara. Bahkan, di usia ini anak juga sudah mulai bisa mendekati sumber suara tersebut. Sedangkan untuk memaksimalkan perkembangan kognitifnya, terapkan beberapa cara ini.

  • Mengajak anak untuk berbicara agar dapat memastikan Apakah sudah bisa merespon dengan melihat wajah Anda.
  • Sering-seringlah membacakan buku kepada anak dan menunjuk gambarnya. 
  • Melakukan berbagai aktivitas yang tidak akan membuat bayi bosan dan rewel.
  • Berikan mainan dengan jarak jauh dan masih terlihat anak. 

2. Memaksimalkan Perkembangan Kognitif Usia 6-9 Bulan

Tahapan perkembangan kognitif anak usia 0-5 tahun, terutama di usia 5-9 bulan sudah mulai mempunyai kemampuan seperti menggenggam benda. Bahkan, di usia ini anak juga sudah bisa memindahkan benda dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Tentu untuk memaksimalkan perkembangan kognitif ini, terapkan beberapa cara berikut.

  • Saat anak mempunyai kemampuan atau keterampilan baru, berikan pujian.
  • Berikan mainan di sekeliling anak.
  • Membacakan buku kepada anak saat menjelang tidur atau waktu lainnya.
  • Memberikan permainan yang bisa meningkatkan kemampuan berpikir seperti memasukkan benda ke dalam lubang.
  • Mengajak anak untuk bernyanyi dan mendengarkan musik.

3. Memaksimalkan Perkembangan Kognitif Anak Usia 9-12 bulan

Anak di usia ini sudah bisa sudah mempunyai kemampuan membedakan benda sesuai dengan fungsinya. Misalnya saja cangkir untuk minum, sendok untuk makan dan lain sebagainya. Sedangkan untuk memaksimalkan perkembangan ini, orang tua wajib melakukan beberapa cara berikut. 

  • Memberikan anak berbagai mainan maupun benda.
  • Mengajak anak untuk bermain petak umpet dan bertepuk tangan.
  • Mengajak anak bermain mencari barang-barang yang hilang.
  • Mengajarkan pengetahuan baru mengenai sebab akibat. 

4. Memaksimalkan Perkembangan Kognitif Usia 1-2 tahun

Saat anak sudah berusia satu atau dua tahun, pengetahuannya mulai bertambah. Misalnya saja sudah memahami anggota tubuhnya. Bahkan, sudah paham mengenai benda-benda yang ada di sekitarnya. Sedangkan cara memaksimalkan perkembangan kognitif tersebut, berikut cara-caranya.

  • Mengajak anak untuk mewarnai gambar dengan bentuk tertentu.
  • Mengajak anak untuk mencari mainan yang disembunyikan. 
  • Sering-seringlah memberikan arahan kepada anak seperti ambil mainan itu.
  • Bisa juga memberikan arahan untuk memasukkan mainan ke dalam keranjang.

5. Memaksimalkan Perkembangan Kognitif Usia 3-4 Tahun

Saat anak sudah menginjak usia 3 sampai 4 tahun, biasanya sudah mulai bisa bermain dengan temannya. Namun, di usia ini belum bisa untuk berbagai mainan atau sejenisnya. Tentunya untuk memaksimalkan perkembangan tersebut, terapkan beberapa cara berikut ini.

  • Mengajak anak melakukan sesuatu atau bermain peran.
  • Mengajak anak bermain menjadi pemimpin.
  • Mengajarkan anak mengenai lagu-lagu.
  • Mengajak anak untuk membantu aktivitas orang tua seperti memasukkan mainan ke dalam keranjang.
  • Mulai ajarkan mengenal angka-angka dan berhitung. 

6. Memaksimalkan Perkembangan Kognitif Anak Usia 4-5 tahun

Saat anak di usia 4 sampai 5 tahun sudah mulai bisa memahami konsep waktu seperti pagi, nanti, kemarin dan lainnya. Tentu di tahapan usia ini anak sudah mulai mengalami perkembangan dalam kemampuannya. Sedangkan untuk memaksimalkannya, Orang tua harus menerapkan beberapa cara berikut ini.

  • Memancing agar anak dapat menceritakan aktivitasnya.
  • Biasakan anak untuk bisa mengambil keputusan dengan cara memberikan pilihan.
  • Membantu anak dalam meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa dan mengenalkan kata-kata yang akan sering digunakan. 
  • Membantu anak agar bisa menggunakan frasa dan kata yang tepat.
  • Ajak anak untuk menggambar semua anggota keluarga. 

Pentingnya Peran Orang Tua dalam Perkembangan Kognitif Anak

Dari penjelasan sebelumnya bisa diambil garis besar jika peran orang tua dalam perkembangan kognitif anak sangatlah penting. Dengan kata lain, tanpa bantuan dari orang tuanya terutama ibu, perkembangan kognitif anak tidak akan berkembang optimal.

Di sini, orang tua berperan sebagai pembimbing dan mengarahkan anak agar melakukan sesuatu yang nantinya bisa menjadi kebiasaan. Misalnya saja memimpin anak untuk bisa dispilin, mandiri dan membuat keputusan sendiri.

Tentunya untuk meningkatkan perkembangan kognitif anak bisa dilakukan sesuai dengan tahapan usianya. Mengingat setiap usia anak, mempunyai kemampuan tersendiri dan tentunya tidak dapat dipaksakan sama dengan usia yang selanjutnya. 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Most Share

To Top