Pola asuh yang benar dapat berdampak baik pada kebahagiaan dan kesuksesan anak nantinya. Namun, jika sampai salah, orang tua malah bisa menyakiti –bahkan merusak masa depannya. Apa saja tipe orang tua yang bisa merusak masa depan anak? Simak penjelesannya berikut!
1. Suka Membanding-bandingkan Anak dengan Anak Lain
Sederhananya, tak ada yang suka dibanding-bandingkan dengan orang lain, tak terkecuali anak. Sayangnya, tak jarang orang tua membandingkan hal-hal positif dari orang lain kepada anaknya, dengan harapan anak juga memiliki nilai positif tersebut. Padahal ini bisa membuatnya berkecil hati. Berpikir bahwa dirinya memang seperti apa yang orangtuanya katanya, yakni tidak lebih baik dari anak lain.
2. Bertengkar dengan Pasangan di Depan Anak
Konflik dengan pasangan sering kali tak terhindarkan dan sulit menyembunyikannya dari anak. Mungkin karena emosi yang meluap, pertengkaran bisa terjadi di depan anak.
Namun, Bunda harus tahu jika studi ilmiah menunjukkan bahwa anak yang tumbuh di lingkungan yang sering terjadi konflik, jadi cenderung lebih sulit untuk beradaptasi, sulit bekerja sama dengan orang lain, dan rentan mengalami depresi.
Bukan hanya masalah emosi, kesehatan fisik anak pun dapat terganggu dan menyebabkan keluhan berupa badan lemas yang frekuensinya sering dan gampang sakit.
3. Menjadi orang tua yang Tidak Jujur dengan Suka Berbohong
Sering berbohong kepada anak akan membuat anak kehilangan rasa percaya terhadap orang tuanya sendiri. Bahkan berdasarkan penelitian dari Universitas Princeton, Amerika Serikat, setidaknya 40 persen anak-anak takut dan kehilangan rasa percaya akan orang tuanya.
Penyebabnya, misalnya orang tua sering mengucapkan, ”jangan menangis, ya, nanti digigit harimau”, ”Ibu pergi 5 menit ya, kamu main dulu sama Mbak” (padahal perginya berjam-jam), ”jangan bandel, nanti ditangkap polisi, lo!”, dan sebagainya.
Kesannya sepele saat kebohongan itu keluar dari mulut. Namun, bila tak jujur kepada si Kecil, lama-lama itu memberikan efek buruk di kemudian hari.
4. Menjadi Orangtua yang Kompetitif Demi Kepuasan Pribadi
Orangtua kerap memacu anak untuk selalu juara satu, selalu aktif dalam sebuah kompetisi atau aktivitas di mana kemenangan adalah tujuan akhir. Ini berbahaya lantaran anak bisa tumbuh menjadi sosok yang tidak mau mengalah, sering kecewa kalau tidak mendapatkan yang ia mau dan cenderung akan banyak musuh dan susah punya teman.Sebagai orangtua, kita seharusnya sadar jika setiap anak memiliki kemampuan dan keahliannya masing-masing.
5. Memberikan Ekspektasi yang Berlebihan pada Anak
Tipe lain orangtua yang bisa merusak masa depan anak adalah yang memiliki ekspektasi terlalu tinggi pada anak. Misalnya orangtua ingin anak selalu menjadi juara kelas, masuk perguruan tinggi ternama, meraih beasiswa, dan sebagainya.
Namun, kebanyakan yang terjadi adalah, ketika pencapaian anak sesuai dengan ekspektasi orang tua, orang tua justru tidak memberikan apresiasi karena menganggap bahwa itu memang sudah seharusnya tugas anak.
Ekspektasi tinggi orang tua yang tidak dibarengi timbal balik berupa motivasi maupun apresiasi bisa membuat anak kehilangan semangat berjuang (demotivasi), karena menganggap jerih payahnya tidak dihargai.
6. Sering Membicarakan Hal Buruk tentang Orang Lain di Hadapan Anak
Sebisa mungkin, hindari bergunjing atau membicarakan kejelekan orang lain di hadapan anak. Anak mungkin tampak tak mengerti, tapi mereka tetap memperhatikan orangtuanya.
Saat orangtuanya berbicara negatif tentang orang lain, misalnya: “tetangga depan rumah itu orangnya galak!”, “temanmu itu badannya bau banget”, dan sebagainya. Omongan seperti itu bisa menciptakan persepsi negatif dalam pikiran anak
7. Terlalu Sering Memuji Anak Secara Berlebihan
Memberi pujian atas keberhasilan atau prestasi merupakan tindakan baik sebagai bentuk penghargaan. Namun, memberikan pujian yang berlebihan bisa menjadi kesalahan dalam mendidik anak.
Dikhawatirkan, anak hanya akan fokus pada tujuan untuk mendapatkan pujian, sehingga ia akan melakukan berbagai cara untuk memastikan dirinya berhasil.
Selain itu, orang tua yang memuji anak secara berlebihan juga membuatnya percaya diri dan yakin bahwa dirinya sesuai dengan pujian yang diterimanya. Misalnya, “kamu anak yang paling cantik”, ”tidak ada yang lebih pintar dari kamu”, dan lain-lain.
Percaya diri memang baik. Namun, jika anak terbiasa dengan sanjungan dan suatu hari ia mendapatkan kritikan, yang didapat malah perasaan kecewa.
8. Menilai Kemampuan Anak Berdasarkan Nilai yang Diperolehnya
Nilai pelajaran sering menjadi patokan tingkat kecerdasan anak. Padahal, kecerdasan tak hanya dinilai dari angka saja. Kecerdasan anak bisa dilihat dari berbagai macam aspek, seperti linguistik, logika, visual-spasial, kinestetik, musik, interpersonal, dan intrapersonal.
Menjadikan nilai sebagai patokan kecerdasan anak bukanlah pola asuh anak yang bijak. Lebih baik bantu anak dalam proses belajar tanpa membuatnya merasa tertekan.
9. Melindungi Anak dari Segala Kesalahan yang Diperbuatnya
Siapa, sih, orang tua yang tak mau anaknya hidup bahagia dan aman? Namun, bukan berarti ini jadi alasan orang tua untuk terus melindungi anaknya dari kegagalan maupun kesalahan. Kegagalan dan kesalahan yang dialami atau dilakukan bisa jadi pelajaran bagi anak untuk bangkit, kembali berjuang, dan memperbaiki diri.
Jika orang tua terus-menerus ikut campur atau menangani masalah yang dihadapi anak, kebiasaan tersebut akan terbawa hingga ia dewasa nanti. Akibatnya, anak tak mampu mandiri, menghadapi tekanan, dan menyelesaikan masalah.
10. Terlalu Membebaskan Anak dan Tak Memberi Batasan Sesuai Usia
Penggunaan ponsel pintar, media sosial, kini tak mengenal usia, Bun. Tapi ingat, otak anak-anak masih berkembang dan mereka belum bisa membuat keputusan yang matang ketika dihadapkan sesuatu hal. Terlampau cepat mengetahui hal-hal yang tak seharusnya ia tahu, bisa merusak pikiran yang ia miliki. Jadi perlu untuk Bunda mengawasi aktivitas anak dengan memberinya batasan.
11. Orangtua Terlalu Over Protektif dengan Apa Saja yang Dilakukan Anak
Orangtua memberikan banyak mendapatkan perhatian. Orangtua juga terlalu sering memantau gerak gerik anak. Anak biasanya juga tidak diperbolehkan melakukan sesuatu atau mencoba sesuatu yang dianggap berbahaya. Ke depannya, sang anak berpotensi tumbuh menjadi sosok yang penakut, mudah alergi, perfeksionis dan selalu merasa tidak aman
12. Terlalu Egois dan Kerap Membuat Anak Merasa Bersalah
Misalnya saja, ketika anak ingin pergi main, tapi orangtua kesepian. Orangtua mengatakan ke anak boleh saja si kecil pergi. Tapi juga bilang kalau anak-anak butuh,orangtua akan selalu di rumah untuk mereka. Perkataan ini bisa bikin anak merasa bersalah lho.
Lantas apa yang bisa Bunda lakukan? Pertama, minta maaf ke anak. Jika anak-anak sudah cukup dewasa untuk memahami kalau bunda terbiasa melakukan hal-hal seperti ini dengan mereka, cobalah mengatakan penyesalan.
13. Marah-marah Kepada Anak di Depan Khalayak Ramai yang Membuatnya Berkecil Hati
Anak juga memiliki perasaan. Mengomeli mereka di depan banyak orang akan meninggalkan bekas luka seumur hidupnya. Anak-anak pada usia berapapun juga paham, marah-marah bukan perbuatan yang pantas. Kita sebagai orang tua juga sering mengingatkan anak-anak untuk tidak melakukan hal yang sama ke temannya.
14. Orangtua yang Mencoba Meminta Anak untuk Menyimpan Rahasia
Anak tidak bisa untuk menyimpan rahasia orangtua, apalagi ketika anak masih kecil. Anak-anak kita bukan teman kita. Orangtua tidak dapat bersahabat dengan anak-anak. Ini akan merusak mental salah satunya atau kedua pihak.
Sebagai orangtua, kita bisa menjadi orang kepercayaan anak-anak. Tapi anak-anak belum bisa mencerna informasi kita. tak peduli berapapun usia anak, mereka tidak perlu mendengar rahasia orang tuanya.
15. Selalu Mengeluh Tentang Segala Hal di Hadapan Anak
Mengeluh memang wajar. Namun, kalau terus-menerus mengeluh apalagi terhadap perkara kecil, itu bisa berdampak buruk pada anak. Kebiasaan menggerutu dan mengucapkan kalimat negatif dapat menyebabkan anak mengalami stres dan kecemasan.
Anak pun akan cenderung takut untuk mengeksplorasi diri karena khawatir orang tua akan marah atau mengeluhkan tingkah lakunya. Akibatnya, anak akan merasa takut untuk mencoba hal-hal baru.
