Mengurus anak menjadi hal yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Menjadi orang tua rasanya campur aduk, senang, khawatir, kecewa, cemas datang silih berganti. Setiap orang tua pasti ingin anaknya tumbuh sehat dan bahagia. Sehingga orang tua rela melakukan apa saja demi mewujudkan hal tersebut. Tak jarang orang tua mengalami kelelahan dan stres karena mengasuh anak hingga terjadi parental burnout.
Parental burnout adalah kumpulan gejala atau keluhan yang dirasakan orang tua karena tekanan atau stres dalam jangka waktu panjang karena peran sebagai orang tua dan mengasuh anak. Kondisi ini sebenarnya adalah hal yang wajar, setiap orang tua pasti pernah mengalaminya ketika merawat anak. Namun, kondisi ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Penyebab Parental Burnout
Parental burnout disebabkan oleh beberapa faktor, baik dari dalam diri orang tua sendiri atau karena tekanan dari luar. Beberapa hal yang dapat menyebabkan parental burnout antara lain:
Memasang standar yang tinggi sebagai orang tua dan kepada anak
Semua orang tua pasti ingin menjadi ayah dan ibu yang baik, serta ingin anaknya selalu bahagia dan tumbuh sempurna. Namun, ekspektasi atau keinginan yang terlalu tinggi terhadap kemampuan diri, pasangan, dan anak bisa membuat kecewa jika tidak terpenuhi. Yang terpenting adalah ayah dan bunda sudah berusaha untuk menjadi orang tua yang baik dan terus memperbaiki diri.
Terlalu banyak atau minim pengetahuan tentang pengasuhan
Mengasuh anak juga butuh ilmu. Kurangnya ilmu dalam mengasuh anak bisa membuat orang tua kebingungan dan stres. Namun, terlalu banyak arus informasi juga bisa membuat orang tua kewalahan. Apalagi sekarang informasi tentang pengasuhan anak sudah bertebaran. Tidak perlu memaksakan untuk menerapkan semua teori parenting yang ada. Cukup pilih yang sesuai dengan keluarga lalu terapkan sesuai dengan kemampuan serta terus melakukan evaluasi dan perbaikan diri dan keluarga.
Tidak ada bantuan dalam mengasuh anak
Mengasuh anak adalah tugas ayah dan bunda, bukan tugas salah satu saja. Mengasuh anak sendiri, tanpa bantuan dan dukungan pasangan bisa membuat ayah dan bunda kelelahan. Oleh karena itu, sebaiknya diskusikan dan atur kesepakatan tentang pengasuhan anak bersama pasangan.
Tidak mampu mengelola emosi
Ketika emosi tidak stabil, ingin marah, sedih atau kecewa, tentu perlu pelampiasan. Emosi yang dirasakan perlu dikeluarkan agar tidak terpendam. Namun, tentunya harus dilampiaskan dengan cara yang tepat. Oleh karena itu, orang tua juga perlu belajar manajemen emosi, agar tidak selalu memendam emosi karena memendam emosi bisa membuat sedih, stres, bahkan depresi. Namun tidak juga melampiaskan dengan marah-marah kepada anak atau pasangan.
Mindful eating alias makan berkesadaran adalah kebiasaan baik berdampak besar bagi kesehatan. Itu makanya, sejak dini si kecil perlu dibiasakan menerapkannya. Penasaran bagaimana caranya?
Mengajarkan dan membiasakan mindful eating bisa dilakukan sejak anak mulai belajar makan lho, Bunda. Ketika anak mulai makan makanan padat di usia enam bulan, sejumlah kebiasaan mulai diterapkan. Nah, di saat itulah mindful eating bisa diajarkan.
Demikian disampaikan nutrisionis, Seala Septiani, S.Gz, M.Gizi, dalam webinar “Konsumsi Berkesadaran untuk Pilihan Asupan yang Lebih Sehat dan Lebih Baik, Investasi Kesehatan untuk Masa Depan” yang digelar Frisian Flag Indonesia, pada Selasa (6/4/2021).
Saat anak makan, sebaiknya tidak asal makan. Jika makanan asal masuk ke mulut, anak tidak akan belajar mengenal sinyal tubuhnya. Dia tidak sepenuhnya sadar apakah sudah kenyang atau masih lapar.
Biasanya yang membuat kesadaran saat makan ini berkurang adalah distraksi. Saat anak makan sambil nonton televisi, dia tidak fokus pada makannya, melainkan pada tontonannya. Hal-hal itulah yang mengakibatkan dirinya kurang memahami respons tubuh sendiri.
Manfaat Mengenalkan Mindful Eating pada Anak
Mengajarkan mindful eating pada anak/ Foto: Canva
Apa sih manfaat mengenalkan konsep mindful eating pada anak? Seperti pada orang dewasa, anak akan terbiasa memperhatikan makanan yang diasupnya. Kelak, mereka akan memperhatikan dengan baik makanan yang dibeli, disiapkan, disajikan, dan dikonsumsinya.
Secara garis besar, berikut ini manfaat mindful eating:
1. Mengenal Sinyal Lapar Tubuh
Makhluk hidup makan untuk bertahan hidup. Nah, mindful eating membuat kita lebih peka pada sinyal yang dikirimkan tubuh. Alih-alih untuk mengatasi stres, sedih, frustrasi, kesepian atau kebosanan, anak akan makan ketika perut keroncongan dan energinya melemah.
2. Tertib Saat Makan
“Mulai dari waktu makan tepat, tertib saat makan, makan bersama keluarga, itu semua sudah mengarah ke mindful eating,” jelas Seala.
Nutrisionis Seala Septiani, S.Gz, M.Gizi menjelaskan tentang mindful eating.
Dengan berfokus pada makanan yang dihadapi, anak sadar sepenuhnya asupan apa saja yang dikonsumsinya. Misalnya, di piring ada tomat yang berwarna merah, lalu ada segelas susu berwarna putih.
Tertib dan fokus saat makan membiasakan anak tidak melakukan kegiatan lain sambil makan. Artinya, anak hanya menghadapi makanannya. Tidak ada aktivitas menonton televisi, membaca buku, atau bermain saat sesi makan berlangsung.
3. Lebih Menghargai Makanan
Saat anak makan, kita bisa memberikan informasi kepada mereka dari mana makanan di piringnya berasal. Misalnya, nasi yang berasal dari tanaman padi di sawah, lalu dipanen dan diproses menjadi beras, kemudian dimasak menjadi nasi.
Contoh lainnya adalah informasi tentang dari mana datangnya susu di gelas, bahwa itu bermula dari peternakan sapi. Informasi semacam ini akan membuat anak semakin menyadari makanan yang diasup.
Mereka akan memperhatikan tekstur, bentuk, warna, dan aroma makanan. Anak-anak juga akan mengeksplorasi reaksi apa dimiliki terhadap makanan tersebut, dan bagaimana bau makanan mempengaruhi perasaannya. Hal-hal itu membuat mereka semakin mengenal dan menghargai makanan. Demikian dikutip dari Help Guide.
4. Lebih Menikmati Makanan
Mindful eating membuat siapa saja, termasuk anak-anak, lebih menikmati makanannya. Karena itulah, mereka tidak akan makan terburu-buru atau terlalu cepat.
Dengan makan tidak terburu-buru, pikiran dan tubuh berkesempatan mengkomunikasikan nutrisi apa saja yang dibutuhkan. Dikutip dari mindful.org otak lebih lambat merespons rasa kenyang hingga 20 menit setelah perut terasa kenyang. Hal inilah yang mengakibatkan kita makan berlebihan tanpa sadar.
Nah, jika kita membiasakan anak makan dengan tidak terburu-buru maka ia memberi kesempatan tubuhnya untuk mengikuti respons otak. Dengan begitu, tubuh anak pun bisa menangkap sinyal untuk makan dalam jumlah tepat.
Saat makan tanpa terburu-buru, anak akan menyuap makanan tidak terlalu banyak. Lebih mudah baginya untuk menikmati rasa dan tekstur makananan ketika mulutnya tidak terlalu penuh. Sesi makan akan terasa lebih menyenangkan.
Cara Mengajari Mindful Eating pada Anak
Mengajarkan mindful eating pada anak/ Foto: Canva
Berikut ini beberapa cara yang bisa diterapkan untuk mengajari dan membiasakan mindful eating pada anak, seperti dikutip dari laman Harvard Health Publishing.
1. Ajak Anak Perhatikan Label Kemasan
Saat mengajak anak berbelanja, Bunda bisa mengajak anak untuk memperhatikan label kemasan makanan yang akan dibeli. Pastikan kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa produk aman.
2. Makan Saat Lapar, Bukan Saat Kelaparan
Mindful eating membiasakan kita peka pada sinyal tubuh saat lapar. Untuk itu, hendaknya anak diajak makan saat lapar mulai terasa, tetapi jangan menunggu sampai lapar sekali. Saat kelaparan, tubuh cenderung memprioritaskan mengisi perut ketimbang menikmati makanan.
3. Makan Porsi Sedikit Lebih Baik
Rasanya senang ya, Bunda, saat melihat anak menghadapi piring penuh makanan. Namun, sebaiknya menyajikan makanan dengan porsi tidak terlalu banyak pada anak, sehingga mereka lebih bisa menikmati makanannya.
4. Libatkan Panca Indra Saat Makan
Saat makan, bukan hanya lidah sebagai indra pengecap saja yang bekerja. Sebaiknya indra lain juga turut difungsikan.
Anak bisa diajak memperhatikan warna, tekstur, aroma, dan bahkan bunyi makanan. Saat mengunyah makanan, ajak anak juga untuk mencoba identifikasi semua bahannya, terutama bumbunya.
5. Menceritakan Asal Makanan
Nasi beserta lauk dan sayur di piring tidak hadir begitu saja. Ada proses panjang sejak ditanam, dipanen, hingga dimasak dan dihidangkan.
Kisah asal muasal makanan bisa jadi perenungan yang baik bagi anak lho, Bunda. Anak jadi tahu tumbuhan atau hewan yang terlibat, serta siapa saja yang diperlukan untuk membawa bahan-bahan makanan itu sampai di meja makan.
Dengan begitu, anak lebih sadar tentang asal makanannya, apa nutrisi yang terkandung, serta dampak bagi diri dan lingkungannya. Anak juga akan lebih bersyukur dan menghargai makanannya.
Mindful Eating Saat Minum Susu
Mengajarkan mindful eating pada anak/ Foto: Canva
Susu merupakan asupan yang bersumber dari alam dan masuk ke dalam kelompok protein bersama lauk pauk. Saat minum susu pun, pesan Seala, perlu tetap mengedepankan minduful eating.
Anak perlu tahu juga lho Bunda dari mana berasal serta kandungan apa yang ada di dalamnya. Kita bisa memberi tahu anak bahwa susu adalah sumber makanan yang kaya akan protein, kalsium, dan fosfor.
Seala menjelaskan beberapa manfaat susu yang bisa dinformasikan kepada anak. Berikut ini sederet manfaatnya.
Sumber kalsium dan protein.
Sumber nutrisi.
Memberikan energi pada tubuh.
Melancarkan pencernaan.
Membuat tubuh tetap terhidrasi.
Menguatkan tulang dan gigi.
Mengurangi stres dan depresi.
Membantu perbaikan jaringan sel yang rusak.
Mentralisir racun.
Meningkatkan daya tahan tubuh.
Saat ini di pasaran ada banyak sekali produk susu yang bisa menjadi pilihan. Seala mengingatkan para Bunda untuk tidak lupa mengecek kemasan susu sebagai langkah penting mindful eating.
Di kemasan produk pangan seperti susu, ada yang sudah mendapat logo centang hijau yang berarti “Pilihan Lebih Sehat”. Hal ini semakin memudahkan kita saat berbelanja.
“Sebenarnya makan sehat itu mudah. Saat waktu belanja sempit, langsung saja pilih yang diberi label pangan pilihan lebih sehat. Selain itu ingat juga, jangan berlebihan makannya,” pesan Seala.
Selain diminum langsung oleh keluarga, adakah Bunda yang menggunakan susu cair untuk memasak? Misalnya susu digunakan sebagai pengganti santan. Apa yang harus diperhatikan ya saat memasak menggunakan susu?
“Kalau memanaskan susu, jangan panaskan lebih dari dua menit atau sampai mendidih,” ujar Corporate Affairs Director Frisian Flag Indonesia, Andrew F. Saputro.
Corporate Affairs Director Frisian Flag Indonesia, Andrew F. Saputro.
Mindful eating yang ditanamkan pada anak sejak dini akan memberikan banyak manfaat. Kebiasaan sehat memang tidak bisa ditumbuhkan dalam semalam, melainkan perlu dilakukan secara konsisten. Untuk itu, sabar selalu dalam mendampingi si kecil melakukan kebiasaan-kebiasaan baik ya, Bunda.
Bahkan sebelum anaknya lahir ke dunia, orangtua pasti mendambakan kelak anak-anaknya bisa sukses dan jauh dari segala masalah yang sempat dialami orangtuanya. Kesuksesan anak berarti kesuksesan orangtua juga kan, Bun?
Nah, selagi anak-anak Bunda masih dalam tahap tumbuh kembang, sudahkah Bunda memaknai kembali arti sukses untuk anak-anak? Sebab sejatinya tak ada resep khusus untuk membuat anak-anak menjadi lebih sukses di masa depan.
Tapi mengutip dari businessinsider.com, biasanya orangtua yang mendukung anaknya agar sukses biasanya melakukan 20 hal ini.
1. Orang tua membiarkan anak-anaknya melakukan pekerjaan di rumah
Menurut eks dekan Stanford University sekaligus penulis buku How to Raise an Adult, Julie Lythcott-Haims, biasakan untuk memberi kepercayaan pada anak-anak untuk melakukan tugas kecil di rumahnya. Lythcott-Haims percaya bila si anak dibesarkan dari tugas-tugas akan menjadi seseorang yang bisa berkolaborasi dengan baik dengan rekan kerja saat bekerja nanti. Selain itu, lebih berempati karena berjuang secara langsung dan mampu melakukan tugas secara mandiri.
2. Orang tua mengajar anak mereka bersosialisasi
Mengutip dari Direktur Program Robert Wood Johnson Foundation, Kristin Shcubert, studi menunjukkan kalau membantu anak-anak mengembangkan ketrampilan sosial dan emosional adalah salah satu hal yang paling penting dilakukan untuk mempersiapkan masa depan yang sehat. Anak-anak yang mampu bersosialisasi jauh lebih mungkin meraih gelar sarjana dan punya pekerjaan di usia 25 dibandingkan mereka yang tak dibekali kemampuan bersosialisasi.
3. Terjalin hubungan yang sehat antara orang tua dan anak
Berdasarkan penelitian dari University of Illinois, anak-anak yang tumbuh di keluarga yang suka berkonflik cenderung akan tumbuh jadi orang yang bermasalah. Untuk itu, coba yuk Bun perbaiki lagi hubungan antara orangtua dan anak. Bahkan untuk mereka yang jadi korban broken home, ternyata ketika seorang ayah lebih sering mengunjungi anak-anaknya akan mengurangi konflik keluarga dibanding dengan ayah yang sama sekali tidak pernah mengunjungi anak-anaknya.
4. Orang tua mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi
Sebuah studi di tahun 2014 yang dipimpin oleh psikolog Sandra Tang dari University of Michigan, menemukan bahwa ibu yang menyelesaikan sekolah SMA atau perguruan tinggi lebih mungkin untuk membesarkan anak-anak yang melakukan hal sama terhadap dirinya. Studi ini menemukan bahwa anak yang lahir dari ibu berusia 18 tahun atau lebih muda, akan kurang mungkin untuk menyelesaikan sekolah tinggi dibanding anak lainnya.
5. Orang tua mengajarkan matematika pada anak sejak dini
Dalam sebuah meta-analisis di tahun 2007 dari 35 ribu anak-anak prasekolah di seluruh AS, Kanada dan Inggris, menemukan bahwa mengembangkan keterampilan matematika dari awal akan menjadi keuntungan yang besar untuk anak di masa depan. Penulis sekaligus peneliti dari Northwestern University, Greg Duncan mengatakan ketrampilan matematika penting diajarkan agar buah hati dapat menguasai pengetahuan tentang angka, urutan nomor, serta konsep matematika dasar serta memprediksi prestasi anak di masa depan.
6. Mereka memiliki harapan tinggi pada anak
Berdasarkan survei nasional pada 6600 anak di tahun 2001, profesor Neal Halfon dari University of California di Los Angeles, menemukan bahwa saat orangtua menaruh harapan pada anak mereka, hal itu akan membawa pengaruh yang besar yang berorientasi pada sebuah pencapaian. Orang tua yang memiliki harapan tinggi pada anaknya hingga ke perguruan tinggi di masa depan, dapat mengelola anak mereka ke arah tujuan yang terlepas dari pendapatan dan aset yang dimiliki.
7. Orang tua menjalin hubungan yang erat dengan anak
Sebuah studi di tahun 2014 yang dilakukan pada 243 orang anak, menemukan bahwa anak-anak yang menerima pengasuhan yang total dari orang tua dalam tiga tahun pertama akan mendapatkan nilai akademik yang lebih baik. Tak hanya itu, anak-anak juga dapat memiliki hubungan yang sehat dan pencapaian akademik yang lebih besar di usia 30-an.
8. Orang tua yang bebas stres
Berdasarkan penelitian yang dilansir dari Brigid Schulte di The Washington Post, jumlah waktu yang ibu habiskan dengan anak antara usia 3 – 11 tahun ternyata berpengaruh pada perilaku dan prestasi anak. Hal ini akan memicu dimana rasa emosional ibu akan menular ke anak. Jadi, bila orang tua bahagia, anak-anak pun akan merasakan rasa bahagia yang sama. Sebaliknya, bila orang tua frustasi, tentunya anak-anak pun akan ikut frustasi.
9. Orang tua menghargai anak untuk hindari kegagalan
Seorang psikolog asal Stanford University, Carol Dweck menemukan kalau anak-anak dan orang dewasa ternyata punya pemikiran yang sama agar meraih sukses. Seperti misalnya anak-anak diberitahu bahwa mereka tak pernah gagal karena memiliki kecerdasan. Sementara ada juga anak-anak yang harus berjuang terus meski gagal dan terus berusaha mencapai sukses.
10. Para ibu bekerja
Menurut penelitian dari Harvard Business School, ada manfaat yang signifikan bagi pertumbuhan anak dengan ibu bekerja. Studi ini juga menemukan anak peremuan dari ibu bekerja lebih cenderung mendapatkan pekerjaan hingga bidang supervisor. Lebih banyak menghasilkan uang 23% dibanding dengan anak-anak lain yang dibesarkan oleh ibu rumah tangga. Selain itu, Anak-anak dari ibu yang bekerja cenderung lebih mandiri melakukan pekerjaan rumah.
11. Orang tua memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi
Di Amerika Serikat, menurut peneliti Sean Reardon dari Stanford University, kesenjangan sosial antara keluarga berpenghasilan rendah lebih tinggi 30-40% dari yang berpenghasilan tinggi. Penulis Dan Pink pun mencatat, semakin tinggi pendapatan orang tua, maka semakin tinggi juga pendidikan untuk anak-anaknya.
12. Orang tua dengan pola asuh otoritatif bukan otoriter
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh psikolog University of California Berkeley, Diana Baumride, ditemukan ada tiga jenis gaya pengasuhan yang berpengaruh bagi kesuksesan anak. Pertama, yaitu permisif; orang tua harus bisa menerima apa pun kondisi anaknya. Kedua otoriter; orang tua membentuk dan mengontrol anak berdasarkan perilaku. Lalu yang terakhir adalah otoritatif; orang tua mencoba untuk mengarahkan anak menjadi lebih rasional. Diantara ketiganya, yang paling berpengaruh adalah otoritatif. Anak akan tumbuh dengan menghormati otoritas tanpa terasa terkekang.
13. Mendorong Anak Agar Selalu Bahagia
Menciptakan suasana dan lingkungan yang bisa membahagiakan anak tak hanya dengan selalu memberikan kehendak mereka. Ajarkan mereka untuk bisa merasa bahagia dari lingkungan sekitar sehingga tercipta pikiran positif untuk meraih sukses di masa depan ya Bun. Masa kecil yang bahagia menentukan kesuksesan mereka kelak.
14. Ajarkan Si Kecil untuk Terus Mau Belajar
Ajarkan anak Bunda untuk terus belajar dalam berbagai hal agar dirinya memiliki wawasan ilmu dan pengetahuan yang luas. Dan Coyle, penulis The Talent Code mengatakan bahwa proses belajar tak hanya dilakukan dengan mendengar saja, tetapi juga mempraktikannya sebagai bentuk pengalaman diri.
15. Orangtua Perlu Mengatur Jam Tidur Anaknya dengan Baik
Sebuah penelitian via Nurture Shock mengungkapkan bahwa seorang anak kelas enam yang sering tidur akan memiliki otak layaknya murid di kelas empat. Hal ini terjadi karena perkembangan otak akan terhambat jika terlalu sering tidur.
16. Jangan Sungkan Mengajak si Kecil untuk Mulai Membaca Bersama
Membacakan dongeng atau sebuah kisah pada anak ternyata kurang mendidik mereka menjadi lebih cerdas. Namun, cara yang lebih efektif adalah mengajak anak membaca bersama dengan orangtuanya sehingga mereka mendapat pengalaman langsung dan nalar lebih berkembang.
17. Bunda, IQ tidak akan berharga tanpa kedisiplinan diri
Dalam buku berjudul “The Power of Habit: Why We Do What We Do in Life and Business” karya Charles Duhigg melansir beberapa studi yang menyatakan bahwa kedisplinan diri akan jauh lebih berpengaruh dalam memprediksi kesuksesan hidup. Selain itu, uji coba dilakukan antara anak rajin dan pintar menurut IQ. Hasilnya menunjukkan anak rajin yang memiliki kedisiplinan diri memiliki perkembangan akademis lebih besar ketimbang anak dengan IQ tinggi.
18. Berikan Pelajaran Musik pada Si Kecil
Mengutip liputan6.com, fakta dari banyak penelitian mengungkapkan manfaat dari belajar musik pada anak akan meningkatkan kecerdasan dan nalar mereka. Salah satu penelitian yang dilakukan Universitas Northwestern menyatakan bahwa pelajaran musik juga bisa bermanfaat pada orang tua dan lanjut usia yang bisa menghindarkan mereka dari penuaan.
19. Ajarkan Kebijaksanaan Padanya
Tunjukkan pada anak bahwa Bunda menerima mereka dengan apa adanya. Anak-anak bukanlah suatu benda yang segera dapat Bunda perbaiki atau modifikasi ketika Bunda merasa tidak puas. Saat kecewa pada tingkah lakunya, daripada mengatakan ‘kenapa kamu tidak bisa diatur?’ atau ‘Ibu kan sudah bilang kamu tak boleh melakukan itu!’, lebih baik katakan sesuatu seperti ‘Ibu tahu kamu tidak suka, tapi kita harus melakukannya.’ atau ‘Duduk disini dulu dan temani Ibu ya. Nanti kita main sama-sama.’
20. Jangan Lupa untuk Mendengarkan Pendapat Anak
Orang tua sering kali lupa bahwa anak-anak punya pendapat sendiri. Salah satu cara untuk membantu si kecil menjadi orang dewasa yang sukses adalah menanyakan apa yang mereka pikirkan berkaitan dengan masalah tertentu secara berkelanjutan.
Jawaban mereka mungkin sedikit menggelikan. Namun anak-anak akan tumbuh dewasa dan mereka akan dapat mengekspresikan perasaan mereka dengan layak, bahkan mempertahankan apa yang telah mereka yakini.
Banyak konsekuensi negatif yang terjadi dari anak yang meraka orang tuanya pilih kasih, Karena itu, pastikan Anda tidak melakukannya dengan beberapa tips berikut:
1. Jelaskan Ketika Anda Harus Memerlakukan Anak Dengan Berbeda
Anak-anak mengharapkan untuk diperlakukan adil dan terhormat. Salah satu caranya adalah dengan menjelaskan pemikiran Anda saat Anda meminta anak-anak Anda untuk melakukan sesuatu yang mereka tidak ingin lakukan.
Anak sering menolak bekerja sama atau menolak pada melakukan sesuatu yang Anda karena mereka tidak melihat alasan dibalik itu. Mereka mungkin tidak tahu aturan sosial dalam situasi tertentu, atau mereka mungkin tidak mengerti bagaimana perilaku mereka dapat mempengaruhi orang lain.
Dalam situasi semacam ini, itu selalu ide yang baik untuk membuat menjelaskan secara sederhana. Misalnya, saat mengunjungi perpustakaan, Anda dapat mengingatkan anak prasekolah Anda bahwa mereka harus berjalan dengan tenang di dalam ruangan karena orang-orang sering membaca di perpustakaan dan lebih mudah untuk fokus di lingkungan yang tenang dan tenang. Atau, di mal, Anda dapat meminta anak Anda untuk memegang tangan Anda saat berjalan sehingga Anda akan tahu di mana mereka dan bahwa mereka aman di tempat yang sibuk. Anak sekolah tentunya tahu lebih dulu, tapi Anda tetap harus menjelaskannya.
Atau, Anda dapat menjelaskan, setelah melerai pertengkaran saudara, bahwa Anda mengharapkan mereka untuk menggunakan kata-kata mereka yang baik meskipun marag dan Anda tidak akan membiarkan mereka saling menyakiti karena Anda ingin mereka selalu merasa aman dan aman di rumah.
2. Pastikan Anak Percaya Bahwa Anda Memerlakukan Mereka dengan Adil
Salah satu caranya adalah dengan memberikan konsekuensi natural, yaitu konsekuensi alami tanpa Anda harus melakukan sesuatu. Misalnya, anak Anda menolak untuk memakai jas hujan ke sekolah, yang mengakibatkan mereka menjadi basah dan tidak nyaman seharian. Hal itu akan menjadi yang terakhir kalinya mereka menolak untuk mengenakan jas hujan mereka pada musim hujan.
Konsekuensi alami dianggap adil karena Anda tidak terlibat. Anak-anak hanya mendapatkan dari pilihan yang telah mereka buat sendiri. Namun, pastikan Anda jangan mengandalkan konsekuensi alami jika hasilnya cenderung menyakiti anak Anda, atau memungkinkan orang lain untuk menyakiti atau diperlakukan tidak adil dalam prosesnya.
3. Berikan Kesempatan Anak Berpikir Logis
Salah satunya cara adalah dengan memberikan konsekuensi yang wajar. Ketika tidak ada konsekuensi alami, Anda mungkin harus membuat beberapa konsekuensi. Untuk menjaga mereka yang adil dan wajar, fokus pada membuat pengalaman agar mereka belajar, bukan pada hukuman.
Misalnya, alih-alih mengirim anak Anda untuk dikurung beberapa menit di kamar mereka ketika mereka memecahkan vas bunga, cobalah berbicara tentang apa yang terjadi. Diskusikan bagaimana marah atau kecewanya Anda dan bagaimana Anda ingin membantu anak mencari tahu bagaimana mereka dapat menebus kesalahan seperti menggantinya atau melakukan sesuatu untuk membantu memperbaiki hubungan Anda.
Di perpustakaan contoh kita di atas, jika anak prasekolah Anda terus berisik, masuk akal untuk meninggalkan perpustakaan tanpa mendapatkan buku-buku baru sebagai konsekuensinya. Di mal, jika anak Anda menolak untuk memegang tangan Anda atau tetap dekat, Anda dapat menempatkan mereka di kereta dorong untuk menjaga mereka tetap aman sebagai konsekuensinya.
Namun, hati-hati, pastikan Anda tidak memberikan konsekuensi ini ketika Anda marah. Anak-anak akan menghormati konsekuensi Anda jika mereka tahu bahwa orang tua sedang marah.
4. Anak Melihat Anda Berlaku Adil Ketika Anda Fleksibel.
Anak-anak membenci kita ketika kita mengatakan TIDAK tanpa benar-benar mempertimbangkan pendapat atau sudut pandang mereka. Atau, ketika kita membuat semua keputusan dan tidak memungkinkan mereka untuk membuat pilihan bagi diri mereka sendiri. Mereka kehilangan rasa hormat bagi kita ketika kita menolak untuk menjadi fleksibel.
Menjadi orangtua yang tegas tidak berarti bahwa kita tidak bisa fleksibel. Bahkan, gaya pengasuhan yang paling terkait dengan hasil positif untuk anak-anak sering digambarkan sebagai tegas tapi fleksibel, atau demokratis.
Bersedialah untuk berdiskusi dengan anak Anda. Berikan anak Anda banyak pilihan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Beri mereka kesempatan kedua ketika mereka mebuat kekacauan. Jika Anda tidak menyukai usulan mereka, beri mereka kesempatan untuk meyakinkan Anda.
5. Jangan Berlebihan Dalam Menyamaratakan
Kadang-kadang orang tua terlalu jauh dalam mencoba untuk bersikap adil. Ketika satu anak mendapat sesuatu, kita ingin memastikan bahwa saudara lainnya tidak merasa ditinggalkan. Tapi, sebenarnya, anak-anak benar-benar hanya ingin mendapatkan apa yang mereka perlukan saat itu. Jadi, hanya karena sepatu sepatu si kakak usang dan ia membutuhkan yang baru, tidak berarti bahwa si adik membutuhkan sepasang baru (terutama karena sepatunya masih bagus.
Anak-anak dapat diajarkan untuk memahami bahwa Anda akan melakukan yang terbaik untuk apa yang mereka butuhkan, ketika mereka membutuhkannya, dan bahwa itu tidak berarti bahwa setiap orang akan mendapatkan hal yang sama. Ketika anak-anak Anda belajar bahwa mereka akan mendapatkan apa yang mereka butuhkan saat mereka membutuhkannya – mereka menyadari betapa adilnya Anda!
6. Anak-Anak Tidak Ingin Diberi Julukan (Dilabel)
Waspadalah. Ketiak Anda memiliki anak yang Anda juluki sebagai “anak yang paling bertanggung jawab”, Anda mungkin secara tidak sadar mulai memberikan anak yang lebih tugas atau tanggung jawab yang lebih dari saudara lainnya. Jika Anda memiliki anak yang Anda menggambarkan sebagai “yang tidak nurut” Anda mungkin berakhir meminta mereka untuk melakukan kurang sempurna seperti hanya untuk menghindari konfrontasi. Jika Anda berharap hal yang berbeda daei saudara laki-laki dan perempuan, anak-juga bisa membenci ini juga karena mereka menjadi lebih sadar peran dan perbedaan gender.
Karena itu, hindari label dan membandingkan anak-anak Anda satu dengan yang lain. Alih-alih berpikir, “Si bungsu sangat tidak bertanggung jawab!” cobalah diubah menjadi , “Si bungsu belum belajar cara bertanggung jawab saat ini, tapi aku akan memberinya kesempatan lagi untuk membuktikan diri.”
Bahkan label anak-anak secara positif, dapat memberikan tekanan yang tidak adil pada mereka. Jika seorang anak diberi label “pintar” atau “yang paling tanggung jawab” mereka mungkin merasa seperti mereka selalu harus seperti itu. Hal ini dapat menyebabkan masalah dengan perfeksionisme mereka.
Jika Anda tergoda untuk memiliki aturan yang berbeda dan harapan untuk putra dan putri, lihatlah dulu pada motivasi Anda sendiri dan pikirkan bagaimana anak-anak akan melihat perbedaan ini!
7. Luangkan Waktu Empat Mata dengan Masing-Masing Anak
Cara termudah untuk membiarkan anak Anda tahu dia penting? Habiskan waktu berduaan. Anda atau pasangan Anda harus mencoba untuk meluangkan setidaknya satu jam setiap minggu untuk satu macam kegiatan empat mata, seperti jalan-jalan di taman. Menjadwalkan hal ini akan membuat anak Anda yang lainnya tidak iri.
8. Hargai Keunikan Anak Anda
Jika seorang anak melihat saudara sebagai ‘baik dalam segala hal,’ anak yang lain bisa berpendapat dia ‘buruk di semuanya,’ Ingatkan setiap anak bahwa mereka istimewa dan katakan padanya mengapa. Fokus pada apa yang membuat dia unik, seperti mudah bergaul atau kemampuan lain yang dilihat orang lain merasa – dan cari cara menghibur mereka.Biarkan dia percaya diri dengan kemampuannya .
9. Biarkan Anak Jelajahi Minat Sendiri
Mendorong anak Anda untuk melakukan sebuah kegiatan sendirian akan membantunya keluar dari bayang-bayang saudara nya. Berikan anak identitas positif dengan mencari tahu apa yang membuat dia tertari. Jika anak Anda tidak memiliki hobi yang melibatkan adiknya, bantu dia menemukan sesuatu yang ia mampu lakukan
10. Jujurlah dengan Anak Anda
Memang terkadang Anda dan pasangan Anda tidak dapat memberikan anak-anak perhatian yang sama. Karena itu, sangat penting untuk terbuka dengan anak Anda tentang apa yang Anda inginkan atau pikirkan. Anak-anak mungkin takut pada apa yang mereka tidak tahu. Biasanya, apa yang mereka pikirkan sering lebih buruk daripada kenyataan. Bicaralah tentang situasi yang mengharuskan Anda memerlakuan mereka secara berbeda agar masing-masing anak merasa nyaman dengan apa yang terjadi dan bagaimana keluarga akan menghadapinya.