Bun, masuk sekolah favorit menjadi impian banyak orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sana. Namun karena persaingan ketat dan terbatasnya kapasitas, anak tentunya harus lolos mengikuti ketentuan yang diberlakukan, baik oleh pemerintah untuk sekolah negeri, maupun ketentuan sekolah tersebut untuk sekolah swasta. Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo memaklumi bila anak akan sedih atau kecewa bila masuk sekolah favorit.
“Namun bila orang tua protes, artinya orang tua kurang memahami aturan dalam penerimaan murid tersebut dan juga kurang siap menerima atau mengantisipasi konsekuensi dari aturan tersebut,” kata Vera seperti dikutip dari Beritasatu.com.
Sejatinya kurang tepat bila harus memaksakan si kecil bersekolah di tempat yang menurut Bunda ideal dengannya. Nah, hati-hati Bun, sikap memaksakan ini justru akan berdampak buruk bagi anak.
“Anak akan merasa dia harus selalu dapat yang ia mau dan menganggap ini sebuah kegagalan. Anak memandang kalau sekolah ya harus di sekolah itu, kalau tidak ya tidak ada artinya. Padahal tidak harus seperti itu,” tegasnya.
Di masa seperti inilah orangtua harus lebih bersikap bijaksana. Orang tua juga perlu menunjukkan sikap percaya pada kemampuan anak bahwa di manapun anak bersekolah, jika memang anak memiliki kemampuan yang baik maka dia tetap akan berhasil.
“Yang terpenting tetap dukung anak dan jangan sampai anak merasa sebagai anak yang gagal hanya karena tidak masuk sekolah tersebut,” tutup Vera.
Sementara itu, yang terjadi justru sebaliknya. Orangtua millenial cenderung sering cemas dengan masa depan anak-anaknya. Alih-alih mendengarkan suara hati sang anak, banyak orangtua yang akhirnya berlomba-lomba untuk mendidik anak agar mereka bisa jadi yang terbaik.
Ya memang demikian dinamika yang ada, orangtua selalu khawatir dengan masa depan anak mereka. Bahkan menurut psikolog anak dari Tiga Generasi, Saskhya Aulia Prima, orangtua diliputi ketakutan mengenai kesejahteraan anak mereka kelak.
“Orang tua sekarang tuh wajar ya (kecewa dengan kegagalan) karena beli rumah saja susah ya para orang tua milenial ini. Pekerjaan selalu enggak pasti, jadi mikir, ‘Anak kita pasti bakal lebih parah.’ Itu (hasil) risetnya kayak gitu,” ujar Saskhya.
Belakangan ini, orangtua pun jadi sangat selektif dan kompetitif. Mereka yakin dan percaya setiap anaknya harus mendapat pendidikan yang terbaik. Padahal, sebagai orangtua, ada baiknya kita pun perlu mencari support group lho Bun. Bila Bunda justru menjadikan kepintaran atau nilai sang anak sebagai ajang pamer dengan ibu-ibu lainnya, bukankah jadi kasihan si kecil?
“Cari yang cocok dengan pendekatan emosional, kayak, ‘Kita senang-senang deh, jalan-jalan’ supaya ada me time, tapi ada juga me time-nya yang diskusi sekolah anak ke depannya kayak gimana. Support group itu penting banget supaya keep the parents sane (waras)” kata Saskhya.
Saskhya menambahkan, orang tua perlu belajar untuk open minded, bahwa semua anak itu berbakat. Namun, tinggal cara mengembangkannya saja. Semua tergantung kepribadian, karakteristik anaknya.
“Kemampuan anaknya apa, bakatnya dia seperti apa. Kalau semuanya dilewati tetap enggak bisa, sudah terlalu stres, terus kita udah terlalu cemas parenting kita bakal sering marah-marah kan? Cukup ketemu dengan profesional (psikolog atau terapis), sebenarnya sumber stresnya apa sih,” tutur Saskhya.
