Menerima kekalahan harus ditanamkan sejak dini. Ini juga membangun semangat kompetisi secara positif dan mempengaruhi kesuksesan anak di dunia persaingan saat ini.
Mungkin sempat terlintas di pikiran ayah dan bunda, kok ada anak yang bisa dengan mudah menerima kekalahan saat bermain dengan temannya, sementara yang lain bisa sampai mengamuk, bahkan menangis? Menurut edukator orangtua dari Toronto, Beverley Cathcart-Ross, ini ada hubungannya dengan temperamen anak. “Anak yang tipenya lebih intens biasanya lebih ngotot sekaligus lebih gampang frustrasi kalau kalah. Setelah itu, mereka bakal lebih lama larut dalam kekecewaan,” jelas Cathcart-Ross.
Selain itu, urutan lahir juga pengaruh, lho. Anak pertama biasanya lebih susah menerima kekalahan, karena biasanya orangtuanya telah menciptakan atmosfir anti-kalah di rumah. Harapan orangtua yang tinggi membuat anak jadi takut mengecewakan orangtua. Akibatnya, sebisa mungkin anak akan menghindari kemungkinan kalah. Karena kalau sampai kalah, hati mereka akan ikut hancur berkeping-keping.
Semua orangtua tentunya ingin yang terbaik untuk anak-anaknya. Ingin anak sukses dan bahagia. Namun untuk menjadi orang dewasa yang bahagia, anak-anak harus belajar menerima kekalahan dan mengatasinya. Sebagai orangtua, tugas Anda adalah mendampingi mereka dalam menjalani proses tersbut.
Penting bagi anak-anak untuk memiliki kemampuan mengatasi kekalahan dan kekecewaan. Ada 3 alasan mengapa orang tua perlu melatih anak menerima kekalahan dan harus dilakukan sejak dini.
Seperti dikutif dari female.kompas.com 3 alasan tersebut adalah: 1. Kita tak selalu bisa mendapatkan apa yang diinginkan, Berusaha maksimal untuk mendapatkan apa yang diinginkan memang sah saja. Namun kita juga perlu menekankan pada anak bahwa hasilnya bisa bermacam-macam kadang tak sesuai harapan. 2. Menghargai kesuksesan dengan belajar mengenai kekalahan, Ketika mengalami kekalahan kita bisa memahami apa itu kesuksesan dan lebih menghargainya. dan 3. Ada waktunya kita kalah. Mengajarkan anak menerima kekalahan akan membantu masa depannya. Karenanya akan lebih mudah melatih menerima kekalahan di masa kanak-kanak dengan risiko lebih rendah.
Mendidik Anak agar berjiwa besar menerima kekalahan melalui Game
Dengan bermain game, dalam buku Mendidik dan Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah karya Dr. Sylvia Rimm dikatakan bahwa anak belajar mengenal giliran dan tahu bahwa mereka tak bisa selalu menjadi pemain pertama. Ini merupakan keterampilan dasar yang akan sangat berguna ketika anak masuk prasekolah atau bermain-main di taman bermain.
Belajar menerima kekalahan dan tidak bermain curang bukan hal mudah bagi anak. Karena itu, orangtua jangan biarkan anak selalu memenangkan permainan sehingga mereka tahu arti kompetisi.
Namun, juga usahakan agar ia tak selalu kalah. Jika permainan menuntut suatu keterampilan, orangtua perlu menjelaskan guna serta bagaimana dan mengapa kita harus melakukannya.
Kalau pada akhirnya anak kalah, orangtua perlu membantu mengatasi kekecewaan pada anak dengan menyuruh pemenang merapikan kembali bekas permainan atau memberi kesempatan pada anak yang kalah untuk mendapat giliran pertama dalam permainan selanjutnya.
Selain dari game, agar anak-anak dapat menghadapi kekalahan dan kemenangan dengan baik, orang tua dapat membantu dengan cara-cara ini dibawah ini. Seperti dikutif dari ayahbunda.com, berikut cara belajar Dari Kemenangan dan Kekalahan :
- Berlomba dalam tim memudahkan anak mengatasi kekalahan, juga kemenangan. Karena akan lebih mudah bagi balita mengatasi, misalnya, kalah lomba tarik tambang sekeluarga daripada kalah lomba menyanyi solo. Dalam kelompok, anak dapat berbagi bahu untuk sama-sama merasa sedih, gembira, atau malu. Anak juga belajar kerja sama, pembagian kerja, kekompakan, dan saling mendukung.
- Pilih permainan dan lomba yang tepat dan sesuai umur. Belikan mainan atau ikutkan lomba yang sesuai dengan usia anak. Karena semakin sulit peraturan permainannya, semakin lama permainannya, maka anak akan lebih cepat merasa frustrasi. Bila di tengah permainan atau lomba anak terlihat lelah, hentikan karena dia akan merasa lebih galau jika kalah dalam kondisi kelelahan.
- Saat kalah, rasa marah harus keluar. Siapa yang kalah boleh mengeluarkan kekesalan dan menunjukkannya. Yang dapat membantu anak melalui proses ini adalah orang dewasa yang dapat berkata-kata, misalnya: “Bunda tahu kamu sedih karena setiap main uno kamu selalu mendapat kartu-kartu yang jelek. Kamu boleh, kok, merasa kesal.” Dengan begitu, kemarahan anak-anak akan teralihkan. Siapa saja yang kalah boleh meninju “bantal kemarahan” atau sebagai “hukuman”, dia boleh makan sepotong coklat.
- Alihkan pada “kambing hitam”. Hal yang paling buruk yang dialami oleh anak yang kalah adalah anak-anak lain atau anak yang menang akan tertawa terbahak-bahak. Untuk mengurangi ini, sampaikan kepada anak bahwa ketika dia menang jangan tertawakan orang yang kalah. Di rumah, saat berlomba bersama keluarga, latih anak untuk tidak menertawakan orang yang kalah dengan menggunakan “kambing hitam,” misalnya, permen beruang-beruangan yang boleh dimakan bersama.
- Ketika mood-nya baik, terangkan penyebab kekalahan apabila anak ingin tahu mengapa anak lain lebih baik dari dirinya sehingga menang. Gunakan kalimat sederhana dan jelas, misalnya “Dia menang karena sepeda hiasnya memang bagus, ada sayapnya mirip pesawat terbang,” atau “Dia menang karena kelerengnya tidak jatuh dari sendok dan duluan sampai garis finish”.
- Tetap ucapkan selamat pada anak yang kalah, untuk menghargai partisipasinya, membesarkan hati dan menjaga rasa percaya dirinya. Ada baiknya memberi hadiah atau berfoto dengan seluruh peserta lomba –bukan hanya pemenang. Pujilah hal-hal baik yang dilakukan anak saat dia berlomba, misalnya, gol yang dia buat atau suaranya yang cukup lantang saat menyanyi.
- Jangan biarkan anak-anak menang dengan mudah. Anak-anak lebih senang bermain atau bertanding bersama kakek dan neneknya karena kemungkinan ia menang akan meningkat. Namun, jangan biarkan ini terus terjadi, karena anak-anak juga harus belajar bersaing dengan lawan sepadan dan merasakan kekalahan. Meski boleh dibantu sedikit-sedikit, misalnya, saat lomba Anda mempermudah aturan atau membolehkan dia memutar dadunya sekali lagi, konsistenlah pada siapa yang menang dan kalah.
- Puji prosesnya, bukan cuma hasilnya. Saat menang anak akan mudah menjadi sombong bila hanya berorientasi pada hasil yang dicapai atau kemenangannya saja, misalnya karena banyaknya pujian. Sebenarnya yang harus lebih diapresiasi adalah proses ketika anak meraih kemenangan, misalnya, bagaimana ia berlatih dengan tekun, atau berlomba dengan ulet, tidak menyerah, dan tidak curang. Dengan memuji proses, anak belajar bahwa untuk meraih suatu keberhasilan, dibutuhkan proses dan kerja keras.
