Bentakan adalah salah satu cara yang diyakini bisa mendisiplinkan anak. Namun, benarkah demikian? Jika kita sering membentak anak, yuk coba perhatikan, apakah perilaku anak semakin baik setelah dibentak atau justru sebaliknya. Meski tujuan membentak dianggap baik, tapi dampaknya justru tidak baik.
Membentak termasuk dalam pelecehan secara verbal. Sering kali bentakan tak hanya melibatkan volume suara yang keras, tetapi juga nada suara yang melengking. Hal itu biasanya diikuti mata melotot, ekspresi wajah kesal yang membuat anak merasa dibenci, serta tercetusnya kata-kata umpatan seperti “dasar anak manja” atau “anak menyebalkan”.
Sering pula bentakan pada anak saat orang tua marah ini berlangsung lama. Orang tua mengomel dengan suara tinggi selama berjam-jam. Alhasil orang tua terlihat berubah seperti orang lain bagi anak. Orang lain yang tak memiliki rasa sayang padanya. Nah, satu hal terburuk yang kerap mengikuti bentakan adalah pengabaian pada anak. Amit-amit ya, Bunda, jangan sampai kita melakukannya.
Ketika amarah menyelimuti diri dan ingin membentak anak sesering mungkin, yuk coba tahan diri dulu, Bun. Jika anak sering dibentak, lebih banyak dampak buruk yang muncul, lho. Berikut ini beberapa dampak yang bisa terjadi.
1. Meningkatkan Hormon Stres Anak

Sering mendapat teriakan atau bentakan akan membuat pikiran, otak, dan tubuh berubah dalam berbagai cara. Salah satunya adalah meningkatkan hormon stres dalam aliran darah.
Hormon stres bisa menurunkan imunitas tubuh. Alhasil anak jadi lebih rentan sakit. Tak cuma itu, stres juga mengaktifkan tingkat kortisol tinggi. Kondisi ini berhubungan dengan kerusakan hipokampus dan daerah otak lainnya. Dampaknya bisa menyebabkan gangguan kognitif.
2. Meningkatkan Kecemasan

Studi tahun 2014 di The Journal of Child Development menunjukkan bahwa teriakan menghasilkan kondisi yang mirip dengan hukuman fisik pada anak-anak. Tingkat kecemasan anak meningkat, bahkan bisa diikuti peningkatan masalah perilaku.
Sebenarnya teriakan atau bentakan bukanlah strategi untuk mendisiplinkan anak, melainkan release atau pelepasan emosi. Alih-alih membuat berwibawa, membentak atau berteriak justru menunjukkan sisi diri seseorang yang tidak terkendali. Sering kali berteriak merupakan respons seseorang yang tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Mengutip artikel National Alliances on Mental Illness (NAMI) anak cenderung melakukan sesuatu lebih baik saat kondisinya tenang, bukan saat cemas. Semakin tenang dan terhubung dengan pengasuh, maka perilaku anak pun semakin baik. Anak-anak pun merasa dirinya aman dan terlindungi.
3. Anak Semakin Tidak Menurut

“Setiap hari dibentak kok anak ini nggak juga menurut ya.” Mungkin kalimat itu kerap terlintas di benak orang tua yang sering mendisiplinkan anaknya dengan bentakan.
Hal ini tidak mengherankan lho, Bunda. Kata psikiater anak, dr. Steven G. Dickstein, saat orang tua berteriak sepanjang waktu, maka bagi anak hal itu bukan hal baru. Karena terbiasa dengan bentakan dan teriakan, anak menganggap hal itu biasa saja. Dengan begitu, bentakan justru gagal mendisiplinkan anak.
4. Harga Diri Rendah pada Anak

Membentak dan berkata kasar dapat mengakibatkan harga diri yang rendah pada anak. Kondisi ini bisa berpengaruh pada kegiatan belajarnya di sekolah.
Bentakan dan kata-kata kasar orang tua membuat seorang anak merasa dirinya tidak dicintai. Mereka berpikir orang tuanya terus mengkritik karena tidak menyukainya.
5. Anak Menjadi Agresif

Terbiasa dibentak dan diteriaki oleh orang tua berisiko membuat anak memiliki perilaku agresif atau mengganggu orang di sekitarnya. Bahkan di kemudian hari, akibat menginternalisasi interaksi negatif dengan orang tua, anak pun bisa berperilaku agresif pada orang tua.
Duh, sayang sekali ya, Bunda, akibat bentakan yang terus meneris, jadi gagal membentuk ikatan dengan anak yang positif dan penuh kasih sayang.
Terkadang kita mungkin pernah kelepasan membentak atau meneriaki anak. Namun, jangan jadikan hal ini sebagai kebiasaan ya, Bunda. Sebelum membentak, yuk coba regulasi emosi terlebih dahulu. Jangan sampai niat mendisiplinkan anak malah jadi kontraproduktif akibat emosi yang tak teregulasi.
Referensi:
Sroykham, W., & Wongsawat, Y. (2019). Effects of brain activity, morning salivary cortisol, and emotion regulation on cognitive impairment in elderly people. Medicine, 98(26), e16114. https://doi.org/10.1097/MD.0000000000016114 diakses pada 3 Juni 2021.
NAMI. Thw Problem With Yelling. https://www.nami.org/Blogs/NAMI-Blog/February-2018/The-Problem-with-Yelling diakses pada 3 Juni 2021.
Child Mind. Calm Voices Calmer Kids. https://childmind.org/article/calm-voices-calmer-kids/ diakses pada 3 Juni 2021.
