Mungkin salah satu dari anda pernah mendengar cerita dari teman atau bahkan mengalami sendiri saat balita asyik memainkan alat kelaminnya. Rasanya khawatir ya, apakah ia mengalami kelainan? Lalu ibu berusaha melarang anak dengan keras agar ia tak lagi memainkan alat kelaminnya, hal ini tentu akan membuatnya bingung mengapa ia boleh memegang anggota tubuh lainnya tapi tidak dengan kemaluannya. Sikap orang tua yang tak memberi pengertian pada anak bisa saja membuatnya penasaran dan malah terus memainkan alat kelaminnya sembunyi-sembunyi.
Menyentuh atau memegang alat kelamin merupakan hal yang wajar dalam tahap perkembangan anak, perilaku ini termasuk dalam fase eksplorasi diri.
Fase ini biasanya terjadi pada usia pra sekolah (1-6 tahun) ketika anak ingin tahu apa yang ada dalam diri mereka mulai dari mata, telinga, mulut, kaki, tangan, juga alat kelamin. Menurut Sigmund Freud perilaku memegang alat kelamin termasuk insting seksual seseorang yang sebenarnya sudah ada sejak bayi dilahirkan. Menurutnya lagi terdapat lima fase perkembangan yang dilalui seorang anak. Jika fase ini dilewati dengan sukses maka akan terbentuk pribadi yang sehat.
Fase awal adalah fase oral yang terjadi pada usia 0-1 tahun, yaitu saat kenikmatan berpusat pada mulut, terutama saat bayi menyusu kepada ibunya.
Sumber kenikmatan lainnya meliputi makan dan minum, menggigit dan mengunyah ketika gigi mulai tumbuh, serta memuntahkan makanan ketika dirasa tidak enak. Kesenangan atau kepuasan pada tahap oral akan membentuk perilaku dan kebiasaan di masa mendatang ketika anak tumbuh dewasa seperti anak gemar berdebat atau bernegosiasi.
Kemudian dilanjutkan dengan fase anal. Fase ini terjadi ketika anak memasuki usia 1-3 tahun.
Kenikmatan fase anal berada di seputar anus. Keberhasilan fase ini terletak pada pembiasaan toilet training. Orang tua yang dapat melakukan pendekatan toilet training secara positif akan berdampak positif pula bagi perkembangan anak di masa mendatang.
Selanjutnya masuk ke fase falik yang biasanya terjadi pada usia 2-3 tahun ketika mulai timbul kesadaran akan organ kelamin serta mereka bisa membedakan laki-laki dan perempuan.
Kenikmatan di daerah genital sudah bisa mereka rasakan pada fase ini oleh karena itu sering kita dapati anak-anak batita memainkan atau menggesekan alat kelaminnya terutama anak laki-laki karena alat kelaminnya lebih terlihat dibandingkan alat kelamin perempuan yang lebih tersembunyi. Selanjutnya masuk ke fase laten ketika anak mulai disibukkan dengan kehidupan sosial, seperti teman, sekolah dan guru. Terakhir fase genital, yaitu ketika anak mulai menghadapi masa puber dan berbagai persoalan menuju kedewasaannya.
Jadi berdasarkan teori psikologi yang ada, perilaku seperti ini adalah sebuah kewajaran dan normal terjadi pada anak-anak. Lalu apa yang harus dilakukan orang tua jika mendapati anaknya tengah asyik memegang-megang alat kelaminnya?
Biarkan saja selama tidak mengganggu lingkungan sekitar karena perilaku ini akan hilang dengan sendirinya menuju fase berikutnya yaitu fase laten.
Jika anak mulai memainkan alat kelaminnya di waktu yang tidak tepat misalnya pada saat ada tamu berkunjung ke rumah sehingga membuat ibu malu atau merasa tak nyaman, ajak si kecil ke kamar dan alihkan perhatiannya. Perlu diingat, ibu sebaiknya tidak memarahi si kecil saat ia memainkan alat kelaminnya karena melarang secara berlebihan bisa menghentikan perilaku ini sehingga mereka kehilangan satu fase dalam kehidupannya dan dikhawatirkan akan berdampak negatif bagi masa depannya. Freud menyatakan bila anak tidak terpuaskan atau tidak terpenuhi kebutuhannya dalam satu fase perkembangan, maka fase ini justru akan berulang kembali di masa depan.
Jadi sekali lagi, perilaku memainkan alat kelamin pada batita itu normal, ibu tidak perlu panik menghadapinya dan jangan melarang bahkan memarahi secara berlebihan karena kelak akan terekam dalam benak mereka bahwa memegang alat kelamin atau beraktivitas seksual itu merupakan hal terlarang sehingga berdampak buruk bagi persepsi seksualnya di masa depan.
