Menangani anak dengan autisme tentu jadi tantangan tersendiri untuk para segelintir orangtua. Selain harus ekstra sabar, orangtua pun diminta memahami lebih dalam mengenai apa itu autisme. Pengetahuan yang dalam dan detail tentang gangguan ini setidaknya membuat orangtua jadi lebih terarahkan dalam membimbing anak-anaknya.
Agnes Yani Puspitasari, seorang terapis dari Pusat Layanan Tumbuh Kembang Efata menuturkan kepada tim SayangiAnak mengenai pentingnya pemahaman autisme bagi orangtua.
“Kita harus tahu dulu tentang autis tersebut. Autis sendiri adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan pada bidang kognitif. Bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial,” ujar Agnes.
Autisme bisa terjadi pada semua kelompok masyarakat. Tak peduli kaya atau miskin, tinggal di desa atau di kota, baik yang berpendidikan ataupun tidak, bahkan bisa terjadi pada setiap kelompok etnis di dunia. Autis sendiri bukanlah semengerikan yang selama ini bunda pikir.
Kenapa Disebut Autisme ya Bun?
Penyebutan autisme berasal dari bahasa Yunani, yakni ‘autos’ yang berarti hidup di dunianya sendiri. Ya Bun, anak dengan autisme umumnya menunjukkan tanda-tanda berupa mengacuhkan suara dan kejadian yang melibatkan mereka, seperti hidup di dunianya sendiri. Mereka juga mengalami kendala dalam melakukan kontak mata serta memberikan respon yang minim saat ada orang dewasa yang memberi sentuhan kasih sayang.
Demi mengetahui seorang anak menyandang autisme, Agnes menuturkan sekarang ini pemerintah kian menggalakkan aksi deteksi dini. Dalam melakukan deteksi dini, tentunya pendekatan dari keluarga sangat diperlukan.
“Diharapkan pendekatan dari keluarga bisa melihat dari contoh-contoh yang disebutkan di atas. Misalnya, apakah anak usia dua tahun, biasanya bisa melakukan komunikasi verbal atau belum. Atau bila kesulitan kontak mata. Atau tidak merespon, orangtua bisa lebih waspada. Dari gejala tersebut, orangtua diharapkan menghubungi tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater atau bahkan terapis untuk berkebutuhan khusus,” lanjut Agnes.
Selain deteksi dini, guna mengetahui secara pasti seorang anak mengidap autisme atau tidak, perlu dilakukan beberapa assesment oleh tenaga profesional seperti psikolog klinis perkembangan anak atau psikiater, Bun.
Mulanya, anak perlu melakukan tes medis sehingga akan keluar diagnosanya. Nah, setelah dilakukan diagnosa, biasanya akan ada assesment dari tim terapis guna mengetahui tingkat perkembangan anak saat ini sehingga akan disesuaikan program apa yang paling dibutuhkan anak dengan autisme.
Bagaimana Mengenai Gejalanya?
Lebih lanjut lagi mengenai gejala autisme, sejatinya ada beberapa level Autism Spectrum Disorder yaitu autisme ringan, autisme sedang, dan autisme berat. Umumnya, anak dengan autisme ringan memiliki kemampuan bicara secara verbal yang baik. Namun ia mengalami kesulitan dalam interaksi sosial serta memunculkan perilaku yang berulang-ulang.
Selanjutnya, di level dua yakni autisme sedang adalah komunikasi verbal terbatas, dan memiliki kesulitan yang sama dengan level pertama namun ditambah gangguan emosional dan masalah sensori. Sementara untuk autisme yang berat, anak tersebut memiliki ciri-ciri autisme level satu dan dua dtiambah kemampuan komunikasi non verbal dan berbagai masalah yang cukup kompleks.
Untuk menangani beberapa level ASD tersebut diperlukan terapi yang bersifat menyeluruh, Bun. Mulai dari terapi perilaku, dimana anak dengan autisme biasanya diketahui lantaran perilakunya bermasalah. Kemudian ada terapi okupasi guna meningkatkan kemampuan motorik dan sensorinya juga kemampuan bicara.
“Jadi semuanya seperti tim, bekerja sama dan menentukan goal bersama orangtua biasanya ada jangka panjang dan jangka pendek,” lanjut Agnes.
Ya, antara orangtua dan terapis biasanya memiliki goals jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendeknya, diharapkan anak dengan autisme dapat memahami komunikasi dua arah lebih dulu sehingga mereka dapat memahami perintah dan mengutarakan apa yang diinginkan.
Lebih lanjut lagi, mereka pun dapat meminimalisir perilaku agar lebih terarah. Sementara untuk jangka panjangnya, si anak bisa mengikuti tuntutan sosial sehingga bisa berlkau seperti anak pada umumnya. Minimal dia juga bisa melakukan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri, seperti kemampuan bela diri, kemandirian yang dia harus penuhi nantinya.
Autisme dan Mitos yang Masih Sering Muncul
Dalam memahami autisme, sebagai orang dewasa, tentu jangan sampai salah informasi apalagi termakan mitos yang tak benar ya Bun. Agnes mengatakan, masih banyak mitos yang mengatakan bahwa autisme menular.
“Jadi misal ada salah satu murid yang masuk atau belajar bersama anak2 normal lainnya, beberapa orangtua memikirkan bahwa anak-anaknya akan meniru anak autism tersebut atau nanti bisa tertular, lalu kemudian berpikir mereka mengganggu dan ngamuk-ngamuk padahal itu tak benar,” ujar Agnes.
Mengenai penyebab autisme, sejatinya belum diketahui secara pasti. Para ahli pun mengatakan, ada kejadian multifaktorial dimana terjadi gangguan psikiatri, kemudian gangguan biokimia, dan adanya kombinasi makanan karena keracunann merkuri, asap timbal kendaraan, dan juga genetik. Setiap hal mengenai penyebab autisme masih diteliti dan belum bisa diakui secara pasti.
Untuk itu, yang bisa dilakukan ibu dan orang dewasanya lainnya dalam menangangi anak dengan autisme adalah dengan saling memberikan informasi tentang autisme sehingga kalau ada orang terdekat atau saudara, Bunda pun bisa menyarankan untuk segera melakukan ke tenaga profesional.
“Biasanya orangtua akan merasa down kalau kondisi anaknya autism. Saran saya, orangtua harus menenangkan diri lebih dulu untuk kemudian bersinergi pada setiap anggota keluarga agar menciptakan suasana kondusif di lingkungan keluarga sehingga semua berperan serta dalam meningkatkan perkembangan kemampuan anak,” kata Agnes.
Hal yang paling tepat dilakukan orangtua dengan anak penyandang autisme adalah memiliki karakter yang sabar, tenang, dan saling mendukung satu sama lain sehingga kelak nantinya progres si anak pun jadi lebih cepat.
“Orangtua perlu menerima keadaan sehingga setelah diagnosa, bisa membuat program2 yang membantu memaksimalkan potensi anggota keluarga yang menyandang autisme. Ini jadi perjalanan panjang karena perlu terapi yang panjang. Jadi harus sabar,” tutupnya.
