Bun, pasti Bunda menyadari, sekarang ini banyak orangtua yang khawatir apabila anaknya harus divaksinasi. Padahal pemberian vaksin merupakan hal penting harus diberikan kepada anak. Dengan imunisasi yang lengkap dan teratur, tubuh bayi, anak, dan remaja dirangsang oleh vaksin untuk membentuk zat kekebalan spesifik untuk mencegah penularan penyakit.
Sayangnya, masih banyak orangtua yang memutuskan tak memberi imunisasi lengkap pada anak mereka karena banyak hal. Salah satunya termakan informasi palsu yang mereka dapat dari internet atau lingkungan sekitar. Nah, dalam acara Imunisasi Lengkap dan Nutrisi Seimbang Untuk Mendukung Indonesia Lengkap oleh Nestle Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia di Jakarta, Senin (22/4/2019), disampaikan mitos dan fakta tentang imunisasi berikut ini, Bun.
Mitos: Imunisasi Sebabkan Autisme, Lumpuh, dan Mengandung Racun. Benarkah?
Masih banyak orangtua yang ragu memberi imunisasi pada anaknya lantaran sudah banyak isu yang menyebar mengenai efek samping imunisasi. Padahal, isu tersebut hanya hoax belaka. Salah satu hoax yang paling sering didengar adalah vaksinasi dapat menyebabkan autisme pada anak atau sebabkan kelumpuhan.
Padahal berbagai penelitian ilmiah pada 2014-2019 telah menyimpulkan bahwa vaksin tidak terbukti menyebabkan autisme atau berbahaya. Untuk itu, Bunda perlu lebih banyak lagi membaca literasi yang pasti guna mencaritahu informasi yang sebenarnya mengenai imunisasi.
Mitos: Demam Setelah Imunisasi Dianggap Berbahaya
Faktanya, kebanyakan anak akan memberi respon demam setelah imunisasi. Bahkan ada yang mengalami bengkak di area suntikan. Bunda tak usah panik dan menanggapinya berlebihan. Hal ini merupakan reaksi yang wajar dan tidak berbahaya. Hal ini tidak berkaitan dengan kualitas vaksin yang sudah diberikan pada si kecil. Kalau anak demam, berikan anak obat penurun panas tiap 4 jam sesuai dosis yang dianjurkan dokter.
Mitos: Terlambat memberi Imunisasi Sejatinya Tak Masalah
Faktanya, hal ini tentu salah kaprah. Bunda perlu menyadari, si kecil membutuhkan kekebalan dan perlindungan dari penyakit. Dan hal itu akan bekerja bila Bunda mengantarkan si kecil imunisasi sesuai jadwal dan jarak yang direkomendasikan.
Jika terlewat atau tertunda, anak belum memiliki kekebalan spesifik sehingga masih rentan penyakit. Kekebalan menjadi tidak optimal jika jarak antar imunisasi yang sama terlalu jauh atau terlalu dekat dari jadwal yang dianjurkan.
Mitos: Imunisasi Pada Saat Bayi dan Balita Sudah Cukup Sehingga Tak Perlu Vaksin Saat Remaja.
Hal ini salah besar karena imunisasi saat remaja bahkan dewasa masih diperlukan karena kekebalan dapat menurun seiring waktu setelah imunisasi pada saat bayi. Selain itu anak usia sekolah dan remaja makin banyak berinteraksi dengan orang lain sehingga berisiko tertular penyakit. Oleh karena itu IDAI menganjurkan imunisasi lanjutan pada usia sekolah dan remaja.
Mitos: Tak Usah Menambah Imunisasi, Apalagi yang Tak Disubsidi Pemerintah
Bun, sejatinya semua imunisasi tentu penting. Namun pemerintah baru menyediakan subsidi untuk sebagian vaksin seperti hepatitis B, polio, BCG, DPT-Hib, campak rubela, DT, dan Td. Untuk beberapa vaksin pneumokokus, HPV, JE, dan rabies diprioritaskan di beberapa provinsi tertentu.
Di samping itu, ada pula vaksin yang belum mendapat subsidi pemerintah seperti pneumokokus, rotavirus, influenza, japanese encephalitis B, rabies, MMR, demam tifoid, cacar air, hepatitis A, HPV, dan meningitis. Padahal vaksin tersebut sama pentingnya untuk diberikan untuk perlindungan tubuh.
Dokter spesialis anak Soedjatmiko dari IDAI mengatakan untuk melawan hoaks antivaksin adalah dengan cara jangan membaca hoaks, jangan ditanggapi, dan jangan dipercaya.
“Manfaat imunisasi sudah terbukti di semua negara, jadi hoaks anti imunisasi tak perlu dipercaya,” Pungkasnya.
