Adakah Bunda yang merasa anaknya usil? Ada saja yang dilakukannya. Bahkan kadang keusilannya berujung tindakan yang menyakitkan orang lain. Namun, ada anggapan anak usil pertanda cerdas. Benarkah?
Psikolog anak dan remaja dari Klinik Kancil, Ratih Zulhaqqi, menjelaskan sebenarnya dalam usia perkembangan anak tidak ada terminologi usil. Hanya saja di periode usia tertentu ada anak yang rasa ingin tahunya meningkat. Selain itu, selera humornya juga meningkat, dan ada kecenderungan memanipulasi lingkungan. Ketika hal-hal itu bergabung jadi satu, anak pun dianggap usil oleh orang sekitarnya.
“Biasanya di usia 2-3 tahun anak nggak bisa diam. Ada saja hal yang dilakukan karena rasa ingin tahunya tinggi,” terang Ratih dalam Instagram Live Sayangi Anak beberapa waktu lalu.
Nah, rasa ingin tahu anak ini terkait dengan problem solving atau cara penyelesaian masalah atas hal-hal yang dia alami. Cara anak menyelesaikan masalah inilah yang berkaitan dengan level kecerdasan.
Jadi, Bunda, ketika kita mendapati si kecil usil, hal pertama yang kita tanamkan dalam diri adalah pemahaman bahwa anak punya rasa ingin tahu. Mereka lantas menyalurkan rasa ingin tahunya dengan berbagai cara.
Terkadang melalui tingkahnya, anak mencoba mencari tahu respons seperti apa yang akan dia dapat dari perilakunya. Bisa jadi pula dia tengah mencari respons seperti yang dia harapkan. Misalnya anak usil menarik kaki adiknya karena ingin mendapat respons diajak bermain oleh orang tuanya.
“Kita perlu cari tahu apa yang dia maksud dari perilakunya. Sebab semua orang pasti ada maksud melakukan sesuatu,” imbuh Ratih.
Nah, jika cara menyelesaikan masalah dari perilaku usil terkait dengan kecerdasan, apakah hal itu secara alami dimiliki anak? Tidak selalu, Bun. Sebab kemampuan problem solving lebih banyak terbentuk dari pembiasaan.
Jika anak banyak dilibatkan dalam kegiatan sehari-hari dan diajak memikirkan cara mengatasi masalah sehari-hari, maka itu adalah iktiar membiasakan problem solving. Itu makanya, sambung Ratih, kita perlu menjadi “asking parents” untuk mengasah kemampuan problem solving ini.
“Asking parents” yang dimaksud adalah menjadi orang tua yang mempertanyakan apa yang harus dilakukan anak. Saat anak memporak-porandakan mainannya, alih-alih melotor sambil menyuruh anak membereskan, lebih baik bertanya, “Apa yang harus kamu lakukan setelah selesai bermain?”
Dari hal-hal sederhana seperti itu, kita sudah menanamkan kebiasaan menganalisa situasi, mengolah informasi yang didapat, lalu memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan.
Jangan Cubit Anak Usil
Perilaku usil anak kadang bikin kita gemas ya, Bun? Misalnya saat anak diminta untuk tidak lari-lari di dalam rumah, bukannya berhenti, malah larinya makin cepat. Untuk menghentikan perilaku ini, ada orang tua yang meninggikan volume suara, bahkan ada yang mencubit anaknya.
Jika ada godaan mencubit agar anak diam atau tenang, sebaiknya langsung tarik napas ya, Bunda. Mereka bertingkah usil karena ada kebutuhan yang belum terpenuhi. Dengan begitu, teriakan atau cubitan tidak serta-merta menghentikan tingkahnya.
Ratih bilang, cubitan di kulit anak merupakan paparan sensori. Nah, di usia dini, sensasi ini akan disimpan. Kelak, mereka bisa kembali melakukan hal yang sama karena mencoba menghadirkan kembali sensasi ini. Apalagi bila ada embel-embel “bunda marah karena sayang”, mereka tidak akan pernah merasa bersalah saat dimarahi atas perilakunya yang tidak baik.
“Jadi orang tua harus berusaha mencari jembatan bagi anak. Kalau anak mau capai ini, maka perilaku harus begini,” imbuh Ratih.
Nah, semoga Bunda lebih memahami bahwa anak usil karena mereka ingin mencari tahu banyak hal. Hal terpenting saat menghadapi situasi ini adalah respons kita ya, Bun. Jangan sampai respons kita justru mematikan kemampuan problem solving anak. Justru dari perilaku ini, anak bisa mengembangkan kemampuan penyelesaian masalahnya.
