Saat hamil pertama kali, biasanya para orangtua baru mulai mempertimbangkan untuk mencari hunian baru yang mungkin lebih besar dan lebih nyaman. Setelah ketemu hunian yang cocok, Bunda dan Ayah pun mulai mempersiapkan proses pindahan. Tapi tahukah Bunda, melakukan aktivitas pindah rumah selama masa kehamilan membuat Bunda jadi lebih banyak bergerak. Kondisi ini ternyata berhubungan dengan kelahiran prematur pada bayi.
Penelitian yang dimuat dalam Journal of Epidemiology dan Community Health menganalisis data dengan melibatkan lebih dari 100 ribu responden wanita hamil di negara bagian Washington D.C., Amerika Serikat.
Para peneliti menemukan bahwa wanita yang pindah selama trimester pertama kehamilan, 42% lebih mungkin untuk melahirkan prematur (sebelum 37 minggu kehamilan) dan 37% lebih mungkin untuk memiliki bayi dengan berat lahir lebih rendah dari rata-rata, dibandingkan dengan wanita hamil yang tidak pindah rumah selama trimester pertama.
Namun, penelitian ini hanya menemukan hubungan dan tidak membuktikan bahwa pindah rumah menyebabkan kelahiran prematur. Mungkin ada faktor-faktor lain yang tidak dapat diperhitungkan oleh peneliti studi, seperti alasan untuk pindah, yang dapat memengaruhi risiko.
“Studi kami adalah langkah pertama yang baik dalam mengidentifikasi pindah rumah sebagai faktor risiko potensial yang layak diteliti lebih dalam, tetapi saya tidak berpikir kita cukup tahu pada titik ini,” ujar penulis utama studi Julia Bond, dari Departemen Epidemiologi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Washington, kepada Live Science.
Studi lainnya menunjukkan laporan yang lebih detail. Peneliti menganalisisi informasi berdasarkan akta kelahiran bayi di wilayah tersebut dari tahun 2007 hingga 2014. Dari akta kelahiran melaporkan lamanya ibu tinggal di alamatnya saat ini, para peneliti dapat menentukan apakah dia pindah rumah selama trimester pertamanya.
Hasilnya, secara menyeluruh, sekitar 28.000 wanita yang pindah rumah selama trimester pertama dan sekitar 112.000 wanita yang tidak pindah rumah selama waktu itu. Dan diantara ibu hamil yang melakukan pindahan di rentang waktu trimester pertama, ternyata 9,1 persen melahirkan prematur (sebelum 37 minggu kehamilan).
Di antara mereka yang pindah selama trimester pertama, 9,1% melahirkan prematur (sebelum 37 minggu kehamilan), dibandingkan dengan hanya 6,4% dari mereka yang tidak pindah selama trimester pertama. Tak hanya itu, 6,4% dari ibu yang pindah rumah di trimestre pertama memiliki bayi yang dianggap mengalami BBLR atau berat badan lahir rendah, dibandingkan dengan 4,5% dari ibu-ibu yang tidak pindah selama trimester pertama.
Hanya saja, studi ini tak mengungkapkan lebih lanjut mengapa pindah rumah pada masa-masa trimester pertama dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran prematur dan bayi berat lahir rendah. Namun perlu disimak, Bun, sejumlah faktor menguatkan alasan adanya hubungan antara aktivitas pindah rumah dengan bayi lahir prematur. Termasuk gangguan terhadap perawatan kesehatan yang dialami selama pindah rumah, tekanan fisik atau tekanan emosional saat pindah rumah.
Bond mengatakan dia berharap penelitian selanjutnya dapat melihat lebih dekat pada berbagai alasan untuk pindah rumah. Antara lain seperti mencari rumah, adanya penggusuran atau situasi yang tidak aman. Studi selanjutnya diharapkan bisa memeriksa apakah faktor-faktor ini memengaruhi hubungan tersebut.
“Saya pikir itu akan membantu meningkatkan pemahaman kita tentang mengapa kita melihat hubungan antara perpindahan dan hasil kelahiran (prematur) yang merugikan ini,” kata Bond.
